Sidebar

NU-India Berdiskusi untuk Atasi Ancaman Terhadap Minoritas di India

Saturday, 24 Sep 2022 20:58 WIB
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menjawab pertanyaan wartawan sebelum kegiatan konferensi pers Religion of Twenty (R20) di Jakarta, Rabu (7/9/2022). Dalam konferensi pers tersebut, Ketua Umum PBNU menyampaikan terkait empat topik yang akan dibahas dalam pertemuan para pemimpin agama dalam kegiatan Religion of Twenty (R20) pada 3 dan 4 November 2022 mendatang di Nusa Dua, Bali. Empat topik tersebut diantaranya Historical Grievances (Kepedihan Sejarah), Pengungkapan Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Pengampunan. Republika/Thoudy Badai

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa pihaknya melakukan diskusi dengan pemerintah India dan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) untuk mengatasi berbagai pelanggaran dan ancaman terhadap umat minoritas di India.

Baca Juga


"Nahdlatul Ulama menyadari adanya berbagai pelanggaran dan ancaman terhadap umat Muslim, Kristen, dan populasi minoritas lain di India. Diskusi Nahdlatul Ulama yang sedang berlangsung dengan Pemerintah India dan RSS dimaksudkan untuk mengatasi berbagai pelanggaran dan ancaman tersebut melalui proses keterlibatan yang konstruktif,? kata Gus Yahya, sapaan akrab Yahya Cholil Staquf, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (24/9/2022).

Pemerintah India akan mendapat giliran memegang Presidensi G20 dari 1 Desember 2022 hingga 30 November 2023.

Partai Bharatiya Janata (BJP), sebagai partai yang saat ini berkuasa, memiliki hubungan dekat dengan RSS, yang didirikan pada 1925 sebagai respons terhadap Gerakan Khilafah dan kolonialisme Inggris.

Baik BJP maupun RSS merupakan bagian dari gerakan nasionalis Hindu yang mewakili pandangan dan sentimen sebagian besar penduduk India.

"Nahdlatul Ulama meyakini bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kepedihan sejarah yang terlanjur mengakar dan mendorong hidup berdampingan secara damai adalah dengan melibatkan semua pihak serta menolak terlibat dalam sentimen permusuhan dan kebencian yang hanya berdasarkan klaim sebagai korban komunal," tutur Yahya.

Kesadaran Nahdlatul Ulama akan potensi genosida di Asia Selatan tidak hanya berdasarkan dinamika geopolitik kontemporer, tetapi juga sejarah kawasan tersebut, termasuk peristiwa genosida Bangladesh 1971, pembantaian yang menyertai pemisahan Pakistan dari India pada 1947, kebijakan pecah belah ala kolonialisme Inggris, dan invasi berabad-abad dari barat laut yang disertai penghancuran, pembantaian, dan perbudakan besar-besaran.

Nahdlatul Ulama, tutur Gus Yahya, mendorong setiap orang yang beriktikad baik, dari setiap agama dan bangsa, untuk menolak penggunaan identitas sebagai senjata politik dan ikut serta mendorong solidaritas dan rasa hormat di tengah keberagaman masyarakat, budaya, dan bangsa di dunia yang dibangun berlandaskan aspirasi paling luhur dari setiap peradaban.

"Inilah misi Forum Agama G20 (R20) saat ini dan tahun-tahun seterusnya," ucap Gus Yahya.

Berita terkait

Berita Lainnya