Pemerintah Memang tak Serius Batasi BBM Bersubsidi
Pembatasan pembelian BBM subsidi tahun ini kemungkinan gagal dilaksanakan.
Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar sudah dinaikkan sejak 3 September lalu. Namun, kenaikan harga tersebut tidak dibarengi dengan regulasi pembatasan penjualan BBM bersubsidi.
Padahal, saat melakukan rapat kerja bersama Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada 26 Agustus 2022 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan tegas mengatakan bahwa 86 persen BBM subsidi dinikmati golongan masyarakat kelas atas atau orang kaya.
Menurut data-data yang disampaikan Bendara Negara, sebesar Rp 80 triliun anggaran susbidi Pertalite dinikmati oleh orang kaya. Hal serupa juga terjadi pada Solar, yakni dari total anggaran subsidi sebesar Rp 143 triliun, orang kaya dan dunia usaha menikmati Rp 127 triliun di antaranya.
Penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran ini menjadi persoalan klasik yang kerap terjadi setiap tahunnya. Pada tahun ini pun pembatasan pembelian BBM subsidi kemungkinan gagal dilaksanakan.
Seperti diketahui, pemerintah semula berencana membatasi pembelian Pertalite dan Solar subsidi berdasarkan kapasitas mesin di bawah 1400 cc. Pertamina juga hanya akan mengizinkan pembelian Pertalite dan Solar subsidi bagi mereka yang sudah terdaftar melalui website MyPertamina.
Rencana pembatasan dilakukan untuk mengerem laju konsumsi Pertalite dan Solar. Hingga akhir 2022, ditetapkan bahwa kuota Pertalite adalah 23,05 juta kiloliter dan Solar 14,9 juta kiloliter.
Nyatanya, hingga akhir Agustus 2022 jatah Pertalite yang sudah terpakai mencapai 19,5 juta kiloliter atau 84,5 persen dari kuota. Sedangkan kuota Solar subsidi telah telah terpakai 10,9 juta kiloliter atau 73 persen dari kuota tersedia.
Hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan aturan main pembatasan pendistribusian BBM bersubsidi. Padahal, agar penyaluran BBM subsidi semakin tepat sasaran dibutuhkan landasan hukum.
Pembatasan BBM subsidi pada tahun ini bakal terhalang oleh revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Sampai saat ini revisi aturan tersebut belum juga selesai.
Upaya pembatasan konsumsi BBM tidak hanya dilakukan tahun ini saja. Pada 2012 dan 2013, pemerintah juga mengeluarkan sejumlah rencana pembatasan. Di antaranya adalah melalui penggunaan teknologi Radio Frequency Identification (RFID), program converter kit, pembatasan dengan uang elektronik, Survey Card, dan Fuel Card.
Namun, sebagian besar gagal atau kurang berdampak karena sejumlah faktor. Pembatasan melalui teknologi RFID, misalnya, pernah diujicobakan di wilayah Jabodetabek pada Mei 2014.
Pembatasan melalui RFID dengan menggunakan database online yang disambungkan dengan SPBU serta kendaraan dengan menggunakan RFID tag. Namun, uji coba ini gagal karena ada kendala pada produksi alat kendali, minimnya partisipasi masyarakat, serta terbatasnya petugas SPBU terhadap program RFID.
Begitu juga dengan program Survey Card yang diujicobakan di Kota Batam, Tarakan, Bintan dan Pangkal Pinang untuk membatasi penjualan solar bersubsidi pada 2014. Mereka yang hendak membeli Solar subsidi harus mendaftarkan kendaraannya. Pembelian dibatasi kuotanya per hari dan per bulan.
Meski penggunaan Survey Card ini mampu menghemat biaya subsidi Bio Solar sebesar Rp 330 miliar per tahun, namun program ini memiliki kelemahan. Kelemahannya terletak pada kartu yang dipakai masih menggunakan kertas karton sehingga mudah rusak.
Sementara itu program Fuel Card diperkenalkan di Batam untuk membatasi solar bersubsidi pada November 2014. Berbeda dengan Survey card, Fuel Card menggandeng Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sama dengan Survey Card, Fuel Card juga mewajibkan pemilik mendaftarkan kendaraannya terlebih dahulu.
Kartu ini memiliki kelebihan yaitu bisa digunakan sebagai alat pembayaran. Namun, kartu ini memiliki sejumlah kekurangan seperti kendala top up serta double-checking settlement yang kerap merepotkan petugas SPBU.
Program converter kit digalakkan sejak 2012 tetapi masih jalan di tempat pada 2014. Padahal, anggaran yang sudah dilakokasikan pada 2012 dan 2013 masing-masing sebesar Rp 250 miliar dan pada 2014 mencapai Rp 3 triliun.
Program sempat jalan di tempat karena macetnya pengadaan converter kit menyusul perselisihan antara Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian terkait pengadaan.
Program converter kit dilakukan dengan membagikan alat converter yang mengubah mesin berbahan BBM menjadi bahan bakar gas (BBG). Alat tersebut sudah dibagikan kepada nelayan ataupun petani.
Program converter kit saat ini masih berjalan. Targetnya bukan hanya konversi gas, tetapi juga konversi BBM ke listrik.
Jika tak ingin mengulang cerita lama, pemerintah harus segera bertindak atas potensi habisnya kuota BBM subsidi sebelum tahun anggaran 2022 berakhir. Pembatasan tanpa adanya regulasi tidak akan efektif karena regulasi jadi dasar untuk bisa memberikan tindakan hukum.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id