Gobel: Indonesia Harusnya Bisa Swasembada Aspal
Rachmat Gobel menyatakan Indonesia harus memiliki target khusus swasembada aspal
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, menyatakan Indonesia harus memiliki target khusus untuk berswasembada aspal.
“Kita sudah dianugerahi kekayaan alam aspal tapi malah disia-siakan. Kita justru jadi salah satu importir aspal yang terbesar di dunia,” katanya, Selasa (27/9/2022).
Hal itu ia kemukakan usai melakukan perjalanan ke Sulawesi Tenggara dan berbincang dengan Gubernur Ali Mazi. Buton, salah satu pulau di provinsi tersebut, memiliki cadangan aspal yang sangat besar di dunia. Potensinya sekitar 663 juta ton dan setelah dimurnikan bisa menghasilkan sekitar 150 juta ton.
Cadangan aspal itu cukup untuk berswasembada aspal untuk 100-125 tahun. Di dunia hanya ada sedikit negara yang memiliki kekayaan alam aspal, di antara yang besar hanya Trinidad, negara di Amerika Selatan.
Walau Indonesia memiliki deposit aspal alam yang sangat besar tapi pada 2017 Indonesia menjadi importir aspal ke-10 di dunia (371 juta dolar AS). Pada 2013 pernah mengimpor hingga 664 juta dolar AS. Sedangkan pada 2018 nilai impor aspal 460 juta dolar AS, lalu pada 2019 sudah melejit menjadi 550 juta dolar AS, atau menjadi importir terbesar ke-5 di dunia.
Kebutuhan aspal Indonesia adalah 1,22 juta ton pada 2018 dan 1,31 juta ton pada 2019. Karena ada pandemi, kebutuhan aspal pada 2020 dan 2021 mengalami penurunan. Namun pada tahun-tahun mendatang bisa naik lebih besar lagi sesuai kondisi ekonomi Indonesia.
Aspal impor itu berasal dari jenis aspal minyak, yaitu aspal dari residu pengilangan minyak. Aspal impor tersebut merupakan sekitar 77,39 persen pada 2018 dan 85,26 persen pada 2019. Adapun penggunaan aspal Buton, disebut asbuton, hanya sekitar 0,3 persen. Sisanya dipenuhi oleh aspal minyak produksi Pertamina. Impor aspal itu terbesar dari Singapura, negeri yang tidak memiliki sumber daya alam.
Gobel mengatakan ada dua faktor penyebab Indonesia keranjingan impor aspal dan tak mensyukuri karunia sumber daya alam yang berlimpah. Pertama, sudah terbiasa dengan penggunaan aspal minyak. Hal ini terkait dengan ketersediaan barang, peralatan yang dimiliki, serta cara mengerjakan dan mengolahnya.
“Padahal kita sudah memiliki aturan tentang TKDN, tentang keharusan menggunakan produk dalam negeri,” katanya.
Adapun faktor kedua, kurang gigih dalam melakukan inovasi dan melakukan riset. “Karena itu selalu digunakan alasan bahwa kualitas asbuton dinilai lebih rendah daripada kualitas aspal minyak,” ujar Gobel.
Padahal, katanya, itu hanya soal inovasi, riset, dan teknologi untuk mengolahnya. Sedangkan teknologi aspal minyak, Indonesia tinggal menggunakannya saja karena sudah ditemukan negara lain. “Lha yang punya aspal alam kan cuma kita dan Trinidad, ya kita yang harus melakukan riset sendiri,” katanya.
Gobel berpendapat, melalui inovasi dan riset pasti akan ditemukan cara untuk meningkatkan kualitas asbuton. “Misalnya dicampur dengan bahan lain seperti karet,” jelasnya.
Sebagai perbandingan, ia menyatakan asbuton justru digunakan Tiongkok untuk membangun jalan tolnya, jalan di kota Shanghai, dan jalan di Anhui serta jembatan yang membelah laut di Jiangsu. “Tentu mereka sudah mengkalkulasi kualitasnya dan pasti sudah dilakukan inovasi. Sehingga tak ada alasan bahwa asbuton hanya untuk jalan lingkungan dengan tekanan di bawah 10 ton,” kata Gobel.
Gobel memuji kesungguhan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono yang mendorong penggunaan asbuton untuk pembangunan maupun preservasi. Hal itu dibuktikan dengan lahirnya Peraturan Menteri PUPR No 18 Tahun 2018 dan Surat Edaran Menteri PUPR 30 Desember 2020.
Selain itu, pemerintah juga memiliki sejumlah peraturan tentang penggunaan produk dalam negeri maupun tentang tingkat komponen dalam negeri (TKDN). “Jadi dari sisi regulasi sudah mencukupi, tinggal bagaimana melaksanakannya. Dan kita mengapresiasi atas tekad dan semangat Menteri PUPR untuk mewujudkannya,” katanya.
“Tingginya ketergantungan terhadap aspal impor dan bahan baku impor sangat merugikan. Selain menguras devisa, karena sebagian besar anggaran pembelian aspal untuk infrastruktur lari ke luar negeri, juga berarti sekitar 70-85 persen dari anggaran pembelian aspal dinikmati oleh asing,” tegas Gobel.