Sidebar

Ibnu Khaldun Rintis Ilmu Kajian Kemasyarakatan

Friday, 30 Sep 2022 19:19 WIB
Ilmuwan Muslim.

IHRAM.CO.ID,Pada Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengusulkan adanya disiplin keilmuan yang secara khusus mengkaji kemasyarakatan.Walaupun tidak menyebutnya sosiologi, ikhtiar tersebut sudah cukup menunjukkan bahwa dengan karyanya itu Ibnu Khaldun sedang menjelaskan dasar-dasar sosiologi modern--jauh sebelum Auguste Comte atau Emile Durkheim lahir. Karena itu, para ilmuwan era modern menggelarinya Bapak Sosiologi.

Baca Juga


Dalam Muqaddimah pula, Ibnu Khaldun mendefinisikan peradaban, yakni sebagai tujuan pembangunan masyarakat dan sekaligus, pada akhirnya, penyebab kehancuran mereka. Pengertian itu berarti bahwa sang alim memandang perkembangan suatu masyarakat sebagai siklus: ada saatnya lahir, tumbuh, menjadi-kuat, lalu lemah, dan lantas mati.

Menariknya, Ibnu Khaldun menyoroti aspek moral sebagai penentu nasib suatu negeri. Kesejahteraan mungkin dapat memenuhi kebutuhan materiel masyarakat, tetapi mereka pun dapat merasa ujub dengan kemegahan yang ada. Ketidak mampuan untuk menjaga moral di tengah kemakmuran itu akan menjadikan keadaan negeri kian merosot.

Menurut perintis ilmu sosial tersebut, perbuatan maksiat yang dilakukan orang per orang di dalam masyarakat tidak seketika meruntuhkan peradaban mereka. Akan tetapi, apabila maksiat itu dilakukan penguasa, yakni melalui tirani yang dikukuhkan, itulah jalan mulus untuk menuju kehancuran total. Pintu masuknya adalah hukum yang tidak lagi berdaya di hadapan orang-orang penting istana, bahkan sang raja sendiri.

Konsep asabiyah juga diperkenalkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah. Secara kebahasaan, istilah itu berarti `semangat.' Dalam teori penulis tersebut, asabiyahadalah keterikatan yang sangat kuat terhadap kelompok tertentu sehingga seseorang akan mempertahankan prinsip-prinsip kelompoknya itu di hadapan kelompok lain. Para ilmuwan era modern kerap menyandingkannya dengan konsep fanatisme kesukuan atau kebangsaan serta solidaritas sosial.

Menurut Ibnu Khaldun, asabiyah timbul secara alamiah dalam kehidupan suatu masyarakat. Sebab, di antara seluruh anggota masyarakat terdapat pertalian darah atau perkauman. Rasa keterikatan itu menimbulkan kesetiaan dan dorongan kerja sama dalam menghadapi pelbagai tantangan, semisal musibah atau serangan musuh. Selain itu, muncul pula komitmen ber sama untuk mencapai tujuan.

Dalam sosiologi politik, terminologi asabiyah berkembang sehing ga menunjuk pada suatu entitas kekuasaan yang melindungi rakyat atau mencapai tujuan negara. Tidak jarang, kekerasan atau pemaksaan terhadap kelompok lain yang lemah dijadikan jalan untuk mencapai tujuan.

Konsep asabiyah juga dipakai Ibnu Khaldun untuk menjelaskan siklus peradaban. Pada mulanya masyarakat terbentuk oleh kelompok yang dipersatukan oleh pertalian darah atau nasab yang sama. Mereka juga terikat oleh perasaan saling ketergantungan atau kepercayaan yang sama. Lantas, muncul seorang tokoh dengan jumlah dan kualitas pengikut yang banyak dan kuat. Sosok ini kemudian menurunkan dinasti sehingga timbul pemerintahan yang stabil.

Stabilitas politik melahirkan pembangunan (fisik) yang pesat. Kota-kota tumbuh. Di dalamnya, masyarakat kian terspesialisasi berdasarkan level pengetahuan, profesi, atau keterampilan masing-masing. Kemakmuran lantas menimbulkan budaya tinggi dan gaya hidup mewah.Pada momen itulah, tanda-tanda kemunduran mulai tampak. Sebab, kalangan elite mulai kehilangan moralitas. Hukum hanya tajam bagi kawula biasa.

Dalam keadaan demikian, masyarakat menjadi rentan terhadap ancaman atau serangan dari luar. Pemerintahnya akhirnya tumbang sendiri atau digantikan dinasti lain yang memiliki latar siklus yang serupa.

Berita terkait

Berita Lainnya