Inflasi September Melonjak, Tiga Komoditas Ini Justru Turun Harganya

BPS mencatat laju inflasi sebesar 1,17 persen pada September 2022.

ANTARA/Fauzan
Seorang pedagang bawang dan cabai menunggu pembeli di Pasar Induk Tanah Tinggi, Kota Tangerang, Banten (ilustrasi). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejumlah komoditas mengalami deflasi (turun harga) pada September 2022. Komoditas tersebut diantaranya bawang merah dan cabai merah.
Rep: Novita Intan Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejumlah komoditas mengalami deflasi pada September 2022. Hal ini memberikan andil ke deflasi sebesar 0,08 persen pada kelompok makanan, minuman dan tembakau pada bulan lalu.

Baca Juga


Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan sejumlah komoditas yang turun antara lain bawang merah, cabai merah, dan ikan segar.  BPS juga mencatat ada penurunan harga minyak goreng dengan andil terhadap deflasi sebesar 0,03 persen dan tomat yang andilnya 0,02 persen.

“Kalau dilihat komoditas yang mengalami deflasi dan memberikan andil terhadap deflasi diantaranya bawang merah dengan andil 0,06 persen, cabai merah 0,05 persen, dan seterusnya sampai ikan segar sebesar 0,01 persen,” ujarnya saat konferensi pers, Senin (3/10/2022).

Menurutnya, dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah pada awal bulan lalu, masih bisa diredam oleh kelompok makanan, minuman dan tembakau, sehingga terjadi deflasi. Sementara, dampak kenaikan BBM tak bisa diredam oleh sektor transportasi yang mencatatkan inflasi sebesar 8,88 persen dan andil 1,08 persen. 

“Hal ini dikarenakan kenaikan BBM berdampak langsung ke sektor tersebut. Jadi inflasi di September ini lebih karena kenaikan harga BBM, dan mampu diredam kelompok makanan, minuman, dan tembakau ini, maka mengalami deflasi," ucapnya.

Berdasarkan wilayah, inflasi tertinggi pada September 2022 terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah sebesar 8,85 persen (yoy). Disusul Jayapura, Papua sebesar 8,62 persen (yoy). Selanjutnya, Padang, Sumatera Barat sebesar 8,54 persen (yoy), kemudian Luwuk, Sulawesi Tengah sebesar 8,34 persen (yoy), dan Surakarta, Jawa Tengah sebesar 7,84 persen (yoy), serta Kupang, Nusa Tenggara Timur sebesar 7,45 persen (yoy). 

Pada kesempatan sama, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menambahkan pemberian insentif merupakan agregat dari kerja pemerintah pusat bersama pemerintah daerah untuk mengendalikan laju inflasi nasional. Dia menilai kinerja daerah sebagai kunci utama mengendalikan inflasi di setiap daerah.

"Untuk penanganan pengendalian inflasi nasional itu adalah agregat dari kerja pemerintah pusat dan 548 daerah. Bagaimana mendongkrak kinerja daerah-daerah agar mampu mengendalikan inflasi daerah masing-masing menjadi kunci," ucapnya.

Menurut Tito, kerja pemerintah pusat akan lebih ringan apabila semua daerah mampu mengendalikan inflasi. Maka itu, untuk meningkatkan kinerja setiap kepala daerah demi mengendalikan inflasi, maka pemerintah membuat iklim yang kompetitif. 

“Hal ini sama seperti pemerintah menangani pandemi Covid-19. Untuk menggairahkan daerah agar mampu mengendalikan inflasi masing masing perlu dibuat iklim kompetitif sama seperti kita menangani pandemi," kata dia.

Dia menilai, pandemi Covid-19 pada waktu itu tidak cukup dilakukan oleh pemerintah pusat saja melainkan juga membutuhkan kontribusi pemda. Maka itu, setiap daerah yang berada di dalam level satu hingga level empat mendapatkan instruksi Menteri Dalam Negeri setiap minggu.

"Yang level empat akan terdorong, karena teman-teman kepala daerah ini di daerah, salah satu yang menjadi catatan adalah persepsi publik apalagi menjelang pilkada nanti," ucapnya.

Lebih lanjut, persepsi publik dianggap penting demi menilai mampu atau tidaknya kepala daerah menangani inflasi. Adapun reward yang diberikan pemerintah dapat berupa pemberian insentif termasuk pujian terhadap daerah yang inflasinya rendah.

"Iklim kompetitif bisa dilakukan dengan memberi reward and punishment," ucapnya.

Di samping itu, Tito membeberkan ada beberapa instrumen untuk mengendalikan inflasi, mulai dari penggunaan anggaran belanja tidak terduga, dana transfer umum, hingga anggaran desa. “Kami meminta kepada BPS untuk mengumumkan juuga per provinsi, kalau bisa di tingkat kabupaten/kota juga. Maka demikian aka nada iklim kompetitif di antara rekan-rekan kepala daerah bersinergi dengan semua unsur-unsur pemerintah daerah masing-masing untuk menekan daerah masing-masing,” ucapnya.

Eks Kapolri itu menyebut apabila semua daerah bisa mengendalikan inflasi daerah masing-masing maka otomatis angka nasional juga bisa dikendalikan. BPS mencatat dari 88 kota yang mengalami inflasi, tertinggi adalah Bukit Tinggi 1,87 persen. 

Penyebab utama adalah kenaikan harga bensin sebesar 0,81 persen, beras memberikan andil 0,35 persen, angkutan dalam kota 0,18 persen dan angkutan antar kota. Sedangkan inflasi terendah di Merauke 0,07 persen. Adapun 2 kota mengalami deflasi yaitu Manokwari 0,64 persen dan Timika 0,59 persen.

Adapun sebaran inflasi di Sumatera ada di Bukit Tinggi 1,87 persen, di Jawa tertinggi di Kudus 1,65 persen di Kalimantan tertinggi di Singkawang 1,66 persen, Sulawesi di Palopo 1,74 persen, Bali Nusa Tenggara di Kupang 1,82 persen , untuk Maluku dan Papua inflasi tertinggi di Sorong 1,49.

Tito mengatakan, upaya pemda dalam meredam inflasi sendiri bisa berbagai macam yang anggarannya sudah tersedia. Misalnya menggeser anggaran belanja tidak terduga  yang saat ini masih di atas Rp 7 triliun untuk meredam inflasi.

Menurut dia, ada beberapa arahan Presiden Jokowi terkait penanganan inflasi selain lewat belanja tidak terduga yakni membuat program pengaman sosial, kemudian pemerintah daerah bersama BPS dan Bank Indonesia harus mencari jalan keluar agar inflasi tersebut bisa ditekan.

“Begitu melihat angka inflasi harus melihat secara betul detail apa faktor penyumbang kenaikan itu, dan setelah itu melakukan langkah detail juga berinovasi menekan, berinovasi mencari solusi atas kenaikan yang spesifik karena tiap daerah berbeda dari tempat ke tempat yang lain. Meskipun ada faktor umum yaitu transportasi,” ucapnya.

Selanjutnya, ada instrumen APBD sebesar dua persen dari dana transfer umum sesuai keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani telah diterbitkan dan itu digunakan untuk mengendalikan inflasi. “Kemudian di desa juga dapat bergerak dengan anggaran desa. Menteri Desa dan PDTT sudah menerbitkan Kepmendes PDTT untuk menggunakan sekitar 30 persen dari sisa dana desa yang dialokasikan jaring pengaman sosial/bansos. Jadi bansos bisa dari belanja tidak terduga kemudian bisa dari dana bansos yang regular,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler