Rusia Dorong Penyelesaian Adil untuk Konflik Israel-Palestina

Rusia dinilai memiliki sipak berdasarkan resolusi fundamental PBB dan tak berubah.

Vyacheslav Prokofyev, Sputnik, Kremlin Pool P
Presiden Rusia Vladimir Putin, kanan, dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas berbicara, selama pertemuan mereka di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Interaksi dan Langkah-langkah Membangun Kepercayaan di Asia (CICA), di Astana, Kazakhstan, Kamis, 13 Oktober 2022.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, ASTANA -- Rusia menginginkan penyelesaian yang adil untuk masalah Palestina-Israel sejalan dengan resolusi PBB. Hal ini diungkapkan Presiden Vladimir Putin dalam pertemuan dengan Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas pada Kamis (13/10/2022) di sela-sela pertemuan puncak regional di Kazakhstan.

Baca Juga


"Rusia memiliki sikap berprinsip berdasarkan resolusi fundamental Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tetap tidak berubah," kata Putin kepada Abbas, dilansir Middle East Monitor, Jumat (14/10/2022).

Putin mengatakan, Moskow terus memantau perkembangan di Timur Tengah. Sementara mengenai kerja sama bilateral dengan Palestina, Putin mengatakan, banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan hubungan ekonomi.

Abbas memuji posisi Rusia terkait penyelesaian konflik Palestina-Israel. Menurut Abbas, Rusia membela keadilan untuk hukum internasional. Dia juga menggarisbawahi krisis pangan di Palestina, dan meminta Rusia untuk mempercepat pengiriman biji-bijian.

"Kami percaya  Rusia memiliki posisi yang jelas tentang penyelesaian itu, dan saya benar-benar yakin bahwa itu tidak akan pernah berubah. Kami tahu betul bahwa Rusia membela keadilan, untuk hukum internasional," kata Abbas.

Abbas menekankan perlunya peran yang lebih besar dari Kuartet Timur Tengah, yang terdiri dari PBB, AS, Uni Eropa dan Rusia. Dia mengatakan kelompok itu harus memimpin penyelesaian Palestina-Israel, bukan negara atau organisasi individu.

Abbas menyatakan ketidakpercayaannya atas peran Washington dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Amerika Serikat secara tradisional merupakan perantara utama untuk menengahi konflik Israel dan Palestina. Pernyataan Abbas muncul pada saat AS dan Rusia berselisih mengenai invasi Moskow ke Ukraina.

“Kami tidak mempercayai AS. Kami tidak menerima AS, dalam kondisi apa pun, (sebagai) satu pihak dalam menyelesaikan masalah Timur Tengah,” kata Abbas, yang berbicara dalam bahasa Arab.

Abbas mengatakan, Palestina hanya akan mempertimbangkan mediasi AS jika itu adalah bagian dari kelompok mediasi internasional yaitu Kuartet Timur Tengah. Abbas tidak ingin AS melakukan monopoli dalam menyelesaikan konflik Israel dan Palestina.

"Kami tidak ingin Amerika, dengan dalih apa pun, hanya terlibat (seorang diri) dalam menyelesaikan masalah Palestina. (AS) itu bisa menjadi bagian dari kuartet, memainkan peran di sana, tetapi kami tidak akan pernah menerima monopolinya dalam masalah penyelesaian," kata Abbas.

 

Abbas justru memuji posisi Rusia terhadap rakyat Palestina. Menurut Abbas, Rusia berdiri dengan keadilan dan hukum internasional. 

"Rusia berdiri dengan keadilan dan hukum internasional dan itu sudah cukup bagi kami. Ketika Anda mengatakan Anda mendukung legitimasi internasional, ini sudah cukup bagi saya dan itulah yang saya inginkan. Oleh karena itu, kami senang dan puas dengan posisi Rusia," ujar Abbas.

Abbas menjadi salah satu dari sedikit pemimpin dunia yang duduk bersama Putin sejak Rusia melancarkan invasi terhadap Ukraina pada Februari. Pernyataan Abbas mencerminkan rasa frustrasinya terhadap AS, yang telah mundur dari mediasi intensif antara Israel dan Palestina. Sebaliknya, AS telah mengalihkan fokusnya ke isu-isu global mendesak lainnya seperti perang di Ukraina, hubungan dengan Cina dan ekonomi.

Komentar Abbas juga menyangkut krisis kepercayaan antara Palestina dan AS. Terutama setelah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump memotong dana untuk Palestina dan membuat kebijakan yang menguntungkan Israel. Salah satunya memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel ke kota Yerusalem yang diperebutkan, dan mengesahkan Kesepakatan Abraham yang menjadi landasan bagi Israel untuk menormalisasi hubungan dengan negara Arab. 

Pemerintahan Presiden Joe Biden telah memulihkan dana untuk Palestina, tetapi tetap mempertahankan kedutaan di Yerusalem. Biden juga belum berusaha untuk memulai kembali pembicaraan damai, dengan fokus pada tujuan yang lebih sederhana seperti meningkatkan ekonomi Palestina.

Israel dan Palestina tidak mengadakan pembicaraan damai secara substantif dalam lebih dari satu dekade. Sementara pendudukan militer Israel atas tanah yang direbut dari warga Palestina telah berjalan selama 55 tahun. 

Sebelumnya AS telah menjadi pusat negosiasi. Washington menengahi kesepakatan perdamaian sementara pada 1990-an yang menciptakan Otoritas Palestina, yang kini dipimpin Abbas.

Otoritas Palestina yang diakui secara internasional, berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan dan membuat perjanjian damai yang dinegosiasikan untuk menciptakan negara Palestina merdeka bersama Israrl. Otoritas Palestina mengelola beberapa daerah otonom di wilayah pendudukan Tepi Barat. 

 

Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem timur dalam perang Timur Tengah 1967.  Orang-orang Palestina menginginkan wilayah-wilayah itu untuk membentuk negara merdeka.

sumber : AP/Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler