MUI Bahas Empat Fatwa Terkait Zakat
MUI menggelar Konsinyering dan Pleno terkait zakat di Jakarta belum lama ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Konsinyering dan Pleno terkait zakat di Jakarta belum lama ini. Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, menjelaskan empat fatwa terkait zakat yang dibahas dan ditetapkan oleh MUI.
Pertama, membahas fatwa tentang zakat atas barang yang digadaikan. Ada beberapa pertanyaan dari masyarakat terkait status barang yang digadaikan. Apakah barang yang digadaikan itu wajib dizakati atau tidak.
"Ditetapkan bahwa barang yang digadaikan secara kepemilikan masih menjadi hak milik orang yang menggadaikan. Harta yang digadaikan tetap ada kewajiban zakat jika termasuk harta yang dikeluarkan zakat atau harta zakat," kata Kiai Miftahul kepada Republika, Jumat (21/9/2022)
Ia menerangkan, kalau barang yang digadaikan tidak wajib dizakati, maka tidak perlu mengeluarkan zakat. Meski nilai barangnya besar seperti kepemilikan tanah yang tidak digunakan untuk investasi, itu tidak wajib dizakati. Jadi gadai atas surat kepemilikan tanah itu tidak menjadikannya wajib zakat.
"Yang wajib dizakati jika harta yang digadaikan adalah harta zakat. Seperti emas, perak atau sertifikat atas ruko. Meskipun berupa tanah dan ruko tapi ada investasinya di situ," jelasnya.
Kiai Miftahul menjelaskan, syaratnya telah mencapai nisab, dan sudah mencapai satu tahun jika harta itu ada persyaratan haul. Seperti harta perdagangan, emas dan perak perlu haul.
Ia mengatakan, fatwa kedua yang dibahas tentang pemanfaatan zakat untuk penanggulangan bencana dan dampaknya. Ada pertanyaan lembaga amil zakat (LAZ) apakah boleh dana zakat digunakan untuk penanggulangan bencana dan dampaknya.
Awalnya pertanyannya terkait bencana alam, tapi kemudian dibahas terkait bencana secara umum. Baik berupa bencana kebakaran, perang, maupun sosial seperti korban kekerasan terhadap perempuan dan anak itu dapat dikategorikan sebagai bencana.
"Hasilnya kemarin boleh digunakan zakat untuk penanggulangan bencana, bahkan untuk pencegahan bencana juga boleh jika persyaratannya jika penerima (zakat) itu termasuk mustahik, itu yang diberikan langsung," jelas Kiai Miftahul.
Ia menambahkan, kalau dana zakat yang diberikan untuk kemaslahatan umum, itu dimasukan dalam golongan asnaf sabilillah. Seperti untuk sosialisasi tanggap bencana, pembangunan sarana dan prasarana untuk mitigasi bencana, seperti membuat parit di Gunung Merapi. Itu dana zakat digunakan untuk golongan sabilillah karena untuk kemaslahatan umum.
"Jadi kalau misalkan tanggap darurat itu, ada banjir, tsunami atau korban bencana perlu ada penanganan kesehatan atau makanan untuk di masa darurat, itu termasuknya fisabilillah (yang berhak menerima zakat)," ujar Kiai Miftahul.
Ia menerangkan, termasuk penanggulangan dan pemulihan pascabencana. Misalkan untuk pembangunan jembatan dan fasilitas umum. Serta untuk pengembangan ekonomi masyarakat korban bencana. Korban kekerasan perempuan dan anak, jika termasuk kategori fakir miskin karena tidak dapat nafkah dari suami. Maka mereka semua bisa menerima zakat.
Kiai Miftahul, menerangkan, yang ketiga membahas fatwa mengenai zakat fitrah. Karena masih ada yang mempertanyakan, apakah boleh zakat fitrah boleh menggunakan uang atau selain bahan makanan pokok. Pada dasarnya zakat fitrah dibayar dengan menggunakan makanan pokok.
"Tapi dibolehkan muzaki bayar zakat fitrah dalam bentuk uang, nilainya seharga jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh si muzaki setiap harinya," kata Kiai Miftahul.
Ia menerangkan, kalau muzaki tersebut mengonsumsi beras premium yang harganya mahal. Maka zakatnya harus disesuaikan dengan harga beras premium yang dikonsumsinya, jangan disamakan dengan harga beras biasa. Serta harus sesuai dengan harga beras di daerah si muzaki, karena setiap daerah beda-beda harga berasnya.
Ia mengatakan, kalau muzaki menitipkan uang zakat kepada panitia. Kemudian panitia membeli beras atau makan pokok untuk masyarakat setempat. Maka pendistribusiannya oleh panitia penerima zakat paling telat sebelum matahari terbenam di hari pertama bulan Syawal.
Keempat, membahas penyaluran zakat dengan model pinjaman. Tapi pembahasan yang keempat ini belum selesai dan belum disepakati fatwanya.
Modelnya, apakah boleh dana zakat disalurkan kepada orang lain tapi disalurkan dalam bentuk pinjaman. Orang yang diberi pinjaman harus mengembalikan dananya. Model lainnya, dana zakat dipinjamkan ke orang lain secara langsung dalam bentuk modal usaha. Nanti orang yang diberi pinjaman mengembalikan dananya.
Model yang terakhir, dana zakat disalurkan ke kelompok usaha seperti kelompok tani. Tapi kelompok tani tersebut anggotanya fakir miskin. Setelah mereka berhasil bertani, dananya dikembalikan. Tapi tiga model ini belum disepakati, dan masih dibahas.