Marak Kasus Gangguan Ginjal Anak, SKI Ajak Masyarakat Budayakan Apotek Hidup
SKI menilai budidaya tanaman obat-obatan membantu kesehatan masyarakat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kasus gangguan ginjal akut pada anak yang marak terjadi belakangan ini telah direspons pemerintah dengan melarang penjualan beberapa jenis obat sirup yang mengandung EG (ethylene glycol-EG), DEG (diethylene glycol-DEG), dan EGBE (ethylene glycol butyl ether) melebihi ambang batas.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, (20/10/2022) mengimbau masyarakat untuk menggunakan obat alternatif dalam bentuk sediaan lain, seperti tablet, kapsul, suppositoria (anal) dan injeksi (suntik).
Untuk sementara waktu, penggunaan obat-obatan sirup bagi anak-anak hanya dapat dibenarkan apabila melalui konsultasi dengan dokter atau ahli kesehatan.
Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), organisasi masyarakat yang aktif menyoroti kebijakan publik, menyatakan bahwa langkah pro-aktif pemerintah dalam melarang konsumsi zat yang diduga menjadi penyebab merebaknya gangguan ginjal misterius itu perlu diikuti dengan audit menyeluruh terhadap kegiatan pengawasan obat.
“Publik perlu mendapatkan informasi yang lengkap, mengapa ’kebocoran’ kebijakan semacam itu bisa terjadi. Bukankah sebelum memberikan ijin peredaran obat, instansi yang diberikan kewenangan musti memeriksa secara rinci kandungan materi yang terdapat di dalam obat?,” ujar Sekjen SKI, Raharja Waluya Jati, Jumat (21/10/2022) dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Jati, larangan konsumsi terhadap obat-obatan tertentu merupakan respon terhadap permasalahan terkait pada sisi hilir. Hal tersebut dinilai hanya akan efektif apabila permasalahan pada sisi hulu yang berkenaan dengan produksi dan peredaran obat, juga dibenahi dengan serius.
“Audit yang menyeluruh terhadap mekanisme perijinan dan pengawasan terhadap produksi dan peredaran obat harus dilakukan sesegera mungkin. Kita perlu memperkuat akuntabilitas dan tanggungjawab institusi publik agar negara tidak lengah dalam membentengi warganya dari berbagai risiko kesehatan,” jelasnya.
Selain menekankan pentingnya audit pengawasan obat, SKI juga menyerukan kepada warga untuk merevitalisasi apotek hidup atau kebun TOGA (tanaman obat keluarga) sebagai sumber obat-obatan alternatif atas berbagai penyakit.
Dengan membangun akses kepada obat-obatan herbal dan tradisional secara mandiri, agar warga tidak selalu bergantung pada produk industri obat-obatan yang sebagian justru ditengarai mengandung zat kimia berbahaya.
Keberhasilan pengembangan apotek hidup dan TOGA hingga ke level rumah tangga, kata Jati, memperkokoh ketahanan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langah untuk mengarusutamakan pengobatan herbal dan tradisional, melalui gerakan penanaman dan pengolahan tanaman obat di seluruh pelosok negeri.
”Kita perlu menghimpun khazanah kekayaan obat-obatan herbal dan tradisional yang terserak di masyarakat. Pengembangan sistem pengetahuan asali di bidang pengobatan ini harus melibatkan fakultas kedokteran atau fakultas kesehatan masyarakat di perguruan tinggi,” tutur dia.