KPK Tahan Penyuap Pengurusan HGU di Kanwil BPN Riau
KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus suap tersebut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan pemegang saham PT Adimulia Agrolestari, Frank Wijaya. Dia ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau.
"Untuk kepentingan penyidikan, maka tim penyidik melakukan penahanan pada tersangka FW (Frank Wijaya) untuk 20 hari pertama, terhitung dari tanggal 27 Oktober 2022 sampai dengan 15 November 2022 di Rutan Polres Jakarta Selatan," kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022).
Firli mengatakan, selain FW, pihaknya juga telah menetapkan dua tersangka lainnya dalam kasus ini. Mereka adalah Kepala Kanwil BPN Riau M Syahrir (MS) dan General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso (SDR).
Meski demikian, sambungnya, KPK belum melakukan penahanan terhadap MS lantaran mangkir dari panggilan penyidik pada hari ini. Lembaga antirasuah ini pun tak akan segan untuk menjemput paksa MS jika tidak hadir lagi dalam panggilan berikutnya.
"Sedangkan SDR (Sudarso) saat ini sedang menjalani masa pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung," jelas Firli.
Dalam konstruksi perkara ini, FW diduga telah memerintahkan SDR untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT Adimulia Agrolestari yang masa berlakunya akan berakhir pada tahun 2024. Selanjutnya, SDR menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan MS yang menjabat selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Riau.
Sekitar Agustus 2021, SDR menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT Adimulia Agrolestari seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Riau.
SDR kemudian menemui MS di rumah dinasnya. Dalam pertemuan tersebut diduga MS meminta uang sekitar Rp 3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura. Dengan pembagian 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU yang diminta FW.
Selanjutnya, SDR melaporkan permintaan MS itu kepada FW dan mengajukan permintaan uang sebanyak 120 ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp 1,2 miliar. Permohonan ini disetujui oleh FW.
Penyerahan uang ini dilakukan SDR di rumah dinas MS. Dalam prosesnya, MS juga mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun.
Setelah menerima uang tersebut, MS kemudian memimpin ekspose permohonan perpanjangan HGU PT AA dan menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti. Permohanan ini dikabulkan dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra (AP) selaku Bupati Kuantan Singingi yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar.
Atas rekomendasi MS tersebut, FW kembali menugaskan SDR untuk mengajukan surat permohonan ke Andi Putra agar kebun kemitraan PT AA di Kampar dapat disetujui menjadi kebun kemitraan. SDR lalu menemui AP.
Dalam pertemuan itu, AP menyampaikan kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya dibangun di Kabupaten Kuantan Singingi dibutuhan minimal uang Rp 2 miliar. KPK menduga telah terjadi kesepakatan antara AP dengan SDR dan hal ini juga atas sepengetahuan FW terkait adanya pemberian uang dengan jumlah tersebut.
Sebagai tanda kesepakatan, sekitar bulan September 2021, diduga telah dilakukan pemberian uang dari SDR kepada AP sebesar Rp 500 juta. Berikutnya, pada 18 Oktober 2021, SDR kembali menyerahkan uang sekitar Rp 200 juta kepada AP.