Analisis Pemikiran Ekonomi Islam Imam Abu Hanifah
Artikel ini membahas pemikiran ekonomi islam imam abu hanifah mengenai akad salam, hawalah, dan zakat madu
Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 H pada masa khilafah Abdul Malik bin Marwan. Ia lahir dengan nama Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, dari keturunan Persia. Abu Hanifah aslinya berasal dari Kabul Ibukota Afghanistan saat ini, namun kakeknya Marzuban masuk Islam pada masa khilafah Umar bin Khattab yang akhirnya membuat ia pindah ke Kufah dan menetap di sana. Abu Hanifah berkepribadian sangat cerdas dan bijak. Imam Ali bin Aasim mengatakan, “Jika kecerdasan Imam Abu Hanifah harus ditimbang dengan kecerdasan setengah dari orang-orang dunia maka kecerdasan Imam Abu Hanifah akan menggantikan mereka semua.”
Bukan hanya cerdas, ia juga sangat amat mencintai qur’an membuatnya rajin membaca qur’an dan mengkaji kandungannya diikui pengkajian hadits dan fiqh. Karena Abu Hanifah berminat pada fiqh akhirnya ia memutuskan untuk mempelajari fiqh. Ia memilih Hammad bin Abi Sulayman Al-Kufi sebagai gurunya. Beliau adalah Imam yang terkenal dan dikenal sebagai ahli fiqh di Kufah, ia telah mendengar hadits dari Anas bin Malik, Hasan Al-Barsi, Said bin Jubayr, Abu Wa’il, Said bin Al-Musayyab, Amir Al-Shabr dan Abdullah bin Buraydah. Beliau mempelajari fiqh dari Ibrahim Al-Nakha’i, menemani hingga akhir hayat Al-Nakha’i hingga menjadi murid yang paling menonjol dan berhasil menggantikannya memimpin sekolah fiqh di Kufah yang menghasilkan banyak ulama fiqh yang hebat seperti Mis’ar bin Kidam, Sufyan Al-Thawri, Shu’bah bin Hajjaj dan lain sebagainya.
Abu Hanifah belajar kepada Hammad selama 18 tahun sejak ia berumur 20 tahun hingga wafatnya Hammad pada tahun 120 H. Sejak saat itu, Abu Hanifah menggantikannya sebagai guru utama fiqh di Kufah. Ketenarannya menyebar, para ahli hadis dan fiqh hadir, orang-orang dari setiap kota besar di dunia islam datang untuk belajar bersamanya. Selain berguru pada Hammad, Abu Hanifah juga berguru pada ulama lainnya. Ia berguru kepada 4.000 ulama, yang terdiri dari 7 shahabah, 93 tabi’in, dan sisanya tabi’u tabiin. Tidak heran jika ia dapat belajar dari guru sebanyak itu, karena ia hidup hampir 70 tahun dan menunaikan haji 55 kali selama hidupnya dimana pada saat itu adalah waktu bagi para ulama berkumpul di masjidil haram.
Metodologi Pemikiran Imam Abu Hanifah
Imam Imam abu hanifah berlandaskan lima adilah28 dalam istinbath ahkam. Adilah menurut Abu Hanifah terdiri dari lima hal, yaitu: Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Pendapatnya ini berlandaskan dengan sunnah nabi riwayat Abu Daud:
"Bahwa Rasulullah ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda: Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu? Mu'adz menjawab, Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah. Beliau bersabda: Seandainya engkau tak mendapatkan dalam Kitab Allah? Mu'adz menjawab, Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah . Beliau bersabda lagi: Seandainya engkau tak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah serta dalam Kitab Allah? Mu'adz menjawab, Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, & saya tak akan mengurangi. Kemudian Rasulullah menepuk dadanya & berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah. [HR. Abudaud No.3119]."
Abu Hanifah menempatkan derajat mujtahid untuk dirinya sendiri. Jika ketika istinbath ahkam ia tidak menemukan dalil di Quran, ia mencari di Sunnah. Jika belum ditemukan maka ia mencari ijma’ sahabat Rasulullah. Dan apabila setelah rangkaian ijtihad tersebut masih belum ditemukan dalil yang sesuai, ia akan melakukan qiyas dan istihsan sebagaimana yang dikerjakan oleh tabi’in. karena menurutnya ia memiliki derajat yang sama dengan tabi’in, sama-sama hidup sebagai muslim yang tidak hidup semasa hidupnya Rasulullah SAW. Dari seluruh metode yang digunakan Abu Hanifah, yang paling berbeda adalah istihsan. Tidak semua ulama menggunakan metode ini dalam istinbath
Analisis Pemikiran Imam Abu Hanifah
Pada bagian ini pemikiran ekonomi Islam Abu Hanifah akan dianalisis dengan pendapat ulama lainnya. Pemikirannya adalah:
1. Akad Salam
Ia mensyaratkan adanya jangka waktu dalam akad salam, sedangkan Al-Lakhumy dan Imam Malik tidak mewajibkan syarat tersebut, jadi akad salam boleh dilakukan tanpa adanya jangka waktu. Kemudian, Abu Hanifah berpendapat bahwa adanya tempat kejadian merupkan syarat, namun menurut Ibnu Muwaz syarat tersebut tidak diperlukan. Selain itu, syarat salam menurut Abu Hanifah adalah harga empirik, sedangkan Imam Syafi’i tidak menganggap ini hal yang perlu dijadikan syarat.
2. Zakat Madu
Abu Hanifah menyatakan bahwa zakat wajib dikeluarkan dari madu sebagaimana zakat hasil pertanian. Namun, Imam Syafi’i kurang setuju dengan pendapat tersebut. Imam Syafi’i tidak mengatakan bahwa madu wajib dizakatkan karena menurutnya madu dari lebah sama halnya sutra dari ulat, maka tidakk wajib mengeluarkan zakat madu.
3. Akad Hawalah
Imam Abu Hanifah mensyaratkan ridho muhal dan muhil dalam hawalah, namun yang mewajibkan syarat ini hanyalah Abu Hanifah, tiga imam lainnya (Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Hambali) tidak mewajibkan hal ini karena dirasa tidak perlu. Ketidakperluan menurut tiga imam tersebut dikarenakan pastinya ridho muhal dan muhil saat mereka melakukan akad hawalah. Abu Hanifah tidak mensyaratkan terjadinya hutang sebelum akad hawalah, sedangkan bagi ulama lain hal itu wajib dijadikan syarat. Kemudian Abu Hanifah juga membolehkan hawalah mutlaqah di mana ketiga imam fiqh tidak memperbolehkannya