Pemerintah Kembali Perpanjang Pembebasan Pungutan Ekspor Sawit 

Pemerintah perpanjang pungutan nol dolar karena HIP Biodiesel yang rendah

ANTARA/Wahdi Septiawan
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan tanaman mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera, Mendahara, Tanjungjabung Timur, Jambi. Pemerintah memberi perhatian serius dan berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional. Salah satu kebijakan yang diterapkan yakni penetapan Pungutan Ekspor (PE) menjadi 0 dolar AS per MT yang berlaku sejak 15 Juli 2022.
Rep: Iit Septyaningsih Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memberi perhatian serius dan berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional. Berbagai kebijakan juga telah ditetapkan demi mendukung hal tersebut. 


Salah satu kebijakan yang diterapkan yakni penetapan Pungutan Ekspor (PE) menjadi 0 dolar AS per MT yang berlaku sejak 15 Juli 2022. Merespon kondisi harga CPO terkini, Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pun menggelar rapat secara hybrid pada Senin (31/10), yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. 

Dalam rapat tersebut diputuskan, PE 0 dolar AS per MT dilanjutkan per 1 November 2022 pukul 00.00 WIB. Kebijakan tersebut diterapkan karena Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel lebih rendah daripada HIP Solar, sehingga belum ada pembayaran insentif biodiesel. 

Maka, tarif PE sebesar 0 dolar AS per MT diperpanjang sampai harga referensi CPO lebih besar sama dengan 800 dolar AS per MT. “Insentif ini kita pertahankan, tarif 0 dolar AS per MT diperpanjang sampai referensi harga lebih besar atau sama dengan 800 dolar AS per MT. Karena sekarang harganya masih sekitar 713 dolar AS per MT, jadi tarif PE 0 dolar AS per MT berlaku sampai Desember, tetapi begitu harga naik ke 800 dolar AS per MT, tarif PE 0 dolar AS per MT tersebut tidak berlaku,” kata Airlangga dalam keterangan resmi, Selasa (1/11).

Penyesuaian terhadap skema tarif pungutan ekspor diharapkan memberikan efek keadilan dan kepatutan terhadap distribusi nilai tambah yang dihasilkan dari rantai industri kelapa sawit dalam negeri. Pungutan yang dipungut dari ekspor dikelola dan disalurkan kembali untuk fokus pembangunan industri kelapa sawit rakyat. Ketersediaan dana dari pungutan ekspor dapat meningkatkan akses pekebun swadaya terhadap pendanaan untuk perbaikan produktivitas kebun dan mendekatkan usaha pada sektor yang memberikan nilai tambah lebih.

Rapat juga memutuskan untuk melakukan percepatan realisasi Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti. Di antaranya akan dilakukan pembahasan lebih lanjut melalui tim teknis yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan BPDPKS serta mendorong penanaman tanaman sela di lahan PSR yang mencakup komoditas jagung, kedelai dan sorgum sebagai bagian dari program ketahanan pangan.

Terkait PSR ini juga perlu dilakukan perbaikan agar selisih harga TBS pekebun mitra dan nonmitra semakin mengecil. Lalu Rakor Komrah berikutnya khusus PSR dilakukan pada pertengahan November agar dapat diperoleh perencanaan PSR dalam kerangka penanaman tanaman sela pada Desember 2022.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler