Sri Lanka Masih Cari Bantuan Dana untuk Impor BBM

Sri Lanka berusaha mencari bantuan keuangan dari negara-negara penghasil minyak

AP Photo/Eranga Jayawardena
Orang-orang berjalan kaki untuk bekerja di pagi hari di tengah kelangkaan bahan bakar di Kolombo, Sri Lanka, Senin, 25 Juli 2022. Krisis ekonomi Sri Lanka telah membuat 22 juta orang negara itu berjuang dengan kekurangan bahan pokok, termasuk obat-obatan, bahan bakar dan makanan.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO – Sri Lanka tengah berusaha mencari bantuan keuangan dari negara-negara penghasil minyak. Negara yang sudah terjerembap dalam krisis ekonomi itu kesulitan membiayai impor minyak dan akhirnya berdampak pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Saat berbicara di Abu Dhabi International Petroleum Exhibition and Conference (ADIPEC), Menteri Energi Sri Lanka Kanchana Wijesekera mengungkapkan, meski negaranya terus berusaha mencari bantuan keuangan dari negara penghasil minyak, tapi upaya tersebut belum membuahkan hasil. Dia menyebut, negaranya hanya memperoleh bantuan dari kesepakatan yang sudah tercapai dengan India, yakni sebesar 4 miliar dolar AS.

“Sangat sulit bagi kami untuk mengakses letter of credit atau memberikan jaminan pembayaran lainnya,” kata Wijesekera, Selasa (1/11/2022), dilaporkan laman Bloomberg.

Menurut Wijesekera, Sri Lanka sedang berusaha memprivatisasi industri minyaknya, tapi belum membuat kesepakatan. Dia menjelaskan, sebelumnya Sri Lanka sudah menerapkan program manajemen bahan bakar nasional guna mengurangi konsumsi hingga 40 persen.

Wijesekera mengungkapkan, negaranya mengharapkan kargo diesel dari Cina tiba pada akhir November. Menurutnya, kehadiran diesel akan membantu Sri Lanka memenuhi kebutuhan energinya selama beberapa bulan ke depan. Sri Lanka pun sedang mempertimbangkan impor minyak dari Rusia. "Tidak masalah dari mana asalnya (minyak), asalkan terjangkau untuk Sri Lanka,” ucap Wijesekera.

Saat ini Sri Lanka sedang dibekap krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun terakhir. Kondisi di sana kian sengkarut setelah gelombang demonstrasi menuntut perbaikan hidup pecah pada Maret lalu. Aksi tersebut kemudian berubah menjadi seruan reformasi.

Pada Juni lalu, inflasi di Sri Lanka mencapai 54,6 persen. Karena demonstrasi tak kunjung mereda, pada 13 Juli lalu, Gotabaya Rajapaksa akhirnya mundur dari jabatannya sebagai presiden Sri Lanka. Pada Agustus lalu, angka inflasi di Sri Lanka telah menembus 64,3 persen. Negara tersebut sudah kesulitan mengimpor barang-barang, termasuk bahan bakar minyak (BBM) karena utang pembelian minyaknya telah menggunung.

Sri Lanka sudah mencapai kesepakatan awal dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket bantuan senilai 2,9 miliar dolar AS selama empat tahun. Namun, program tersebut bergantung pada jaminan restrukturisasi utang dari kreditur setelah negara tersebut mengumumkan bahwa mereka menangguhkan pembayaran utang luar negerinya. Saat ini, negara tersebut memiliki utang luar negeri sebesar 51 miliar dolar AS. Sebanyak 28 miliar dolar AS di antaranya harus dibayar pada 2027.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler