Visum Korban Kekerasan Seksual Dilakukan Lama Setelah Kejadian, Ini Kata Dokter Forensik
Korban kekerasan seksual sebaiknya lapor ke polisi baru jalani visum.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis forensik dan medikolegal Mohammad Ardhian Syaifuddin mengimbau korban kekerasan seksual untuk tidak menunda pelaporan ke penyidik. Hal itu akan lebih memudahkan proses visum.
"Kalau misalnya Anda sebagai korban kekerasan seksual atau mungkin Anda merasa ada saudara atau kerabat atau teman yang menjadi korban kekerasan seksual, laporkan kalau bisa segera, jangan takut ya," kata dr Ardhian dalam webinar HUT 103 RS Cipto Mangunkusumo yang ditayangkan melalui Youtube RSCM, Rabu (2/11/2022).
Dr Ardhian menuturkan pelaporan kekerasan seksual sebenarnya memiliki berbagai cara seperti ke penyidik di kepolisian, dokter, hingga ke petugas-petugas sosial yang berada di bawah naungan Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, jika ingin membuat visum, sebaiknya datang ke penyidik terlebih dahulu.
Di satu sisi, dr Ardhian sangat memahami jika korban kekerasan seksual takut melapor karena malu hingga faktor lingkungan yang tidak mendukung. Kendati demikian, ia tetap meminta korban kekerasan seksual tetap melapor sekalipun waktu kejadian sudah berlalu cukup lama.
"Tetapi kalau misalnya dia ternyata baru berani untuk ngomong yang agak lama setelah kejadian, tetap lapor aja ke penyidik dan tetap akan kami periksa. Jadi kita jangan terlalu terpaku, kalau sudah lama pasti enggak akan ditemukan apapun," ucap dia.
Dr Ardhian menegaskan bahwa tim forensik memiliki berbagai cara untuk menemukan bukti kekerasan seksual. Pemeriksaan bisa melalui alat forensik yang bisa memperlihatkan bukti tak kasat mata, pemeriksaan fisik, hingga sampel untuk dicek melalui laboratorium.
"Misalnya pemerkosaan, kami akan liat di kemaluannya, mungkin kalau memar atau luka lecet gitu mungkin dia sudah sembuh ya, tapi misal ada robekan di selaput daranya itu masih tetap ada atau kalau misalnya ternyata ada luka yang dia menyembuh kemudian membentuk jaringan parut, itu juga bisa menjadi suatu alat bukti," jelas dr Ardhian.
Selain itu, dr Ardhian menyebut kehadiran Undang Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan pada Mei 2022 lalu, sangat menguntungkan korban kekerasan seksual. UU tersebut mengatur lebih rinci mengenai jenis kekerasan seksual, cara pelaporan, proses penyidikan hingga pidana dan denda bagi pelaku dibandingkan yang tercantum pada UU terkait kekerasan seksual yang tercantum pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Undang-undang ini tujuannya baik sekali. Kalau dibandingkan dengan undang-undang lama, lebih komprehensif dan hukuman kepada pelakunya lebih berat. Salah satu kelebihannya tidak ada retribusi, jadi tidak akan didorong untuk damai dan pasti akan lebih menguntungkan bagi korban," jelasnya.