Pengaruh Kebudayaan Pra-Islam Terhadap Pemikiran Filsafat Filsuf Muslim
Pemikiran filsuf Muslim terinspirasi sebagiannya dengan filsafat Barat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Perkembangan filsafat yang digerakkan para pemikir Muslim di sepanjang sejarah tidak terlepas dari kebudayaan-kebudayaan pra-Islam, khususnya Yunani kuno.
Menurut Syamsuddin Arif dalam Filsafat Islam Antara Tradisi dan Kontroversi (2014), para penekun filsafat pada periode awal, seperti al-Kindi (801-873 M) dan al-Farabi (870-950 M), banyak bergelut dengan karya-karya filsuf Yunanisemisal Plato, Sokrates, dan Aristoteles.
Josep Puig Montada dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy menjelaskan, maraknya kegiatan berfilsafat di Andalusia terjadi lebih belakangan daripada kawasan sisi timur dunia Islam, semisal Syam atau Irak.
Pada abad ke-10, buku-buku yang berkaitan dengan pemikiran Ikhwan ash-Shafa sebuah perkumpulan misterius yang dibentuk para pemikir di Basrah diketahui sampai ke Andalusia.
Tokoh yang diduga menyebarkannya adalah Maslamah bin Ahmad al-Majriti, seorang filsuf kelahiran 950 M dari Madrid.
Khususnya di Sarqusthan, jejak-jejak filsafat dapat ditelusuri pascawafatnya al-Majriti, yakni pada peranan Solomon bin Gabirol atau Avicebron.
Pemikir dari kalangan Yahudi itu memperkenalkan neo-Platonisme kepada publik Barat. Gagasan-gagasannya, terutama yang termaktub dalam buku Yanbu al-Hayyah (Sumber Kehidupan), diterjemahkan ke dalam Latin pada 1150 dan mengilhami skolastisisme abad pertengahan di Eropa.
Dua generasi kemudian, tokoh berikutnya memberikan warna baru bagi tumbuhnya filsafat Islam di Andalusia. Dialah Abu Bakar Muhammad Ibnu Bajjah. Agak berbeda dengan para pendahulunya, ia sangat dipengaruhi pemikiran Aristoteles.
Menurut Mian Mohammad Sharif dalam A History of Muslim Philosophy, Ibnu Bajjah membaca dengan teliti dan mengomentari karya-karya pemikir Yunani kuno tersebut.
Baca juga: Ritual Sholat Memukau Mualaf Iin Anita dan Penantian 7 Tahun Hidayah Akhirnya Terjawab
Dalam beberapa hal, filsuf Andalusia itu mengandalkan al-Farabi untuk menelaah filsafat. Namun, tidak seperti sosok yang berjulukan guru kedua setelah Aristoteles itu, Ibnu Bajjah memakai metode yang berlandaskan pada nalar untuk mendekati masalah-masalah filsafat.
Sebagai contoh, pemikiran Aristoteles mengenai substansi dan aksiden. Yang pertama tersebut merupakan hal yang utama dan fundamental. Itu membedakannya dengan kategori-kategori lainnya yang adalah aksidennya belaka.
Katakanlah, sebuah meja. Substansinya adalah maujud meja. Adapun model, warna, fungsinya di ruangan, dan lain-lain itu sekadar aksidennya. Totalitas benda itu adalah meja.
Bahwa benda itu terbuat dari kayu, berwarna hijau, dipakai untuk makan, dan lain-lain itu hanyalah menunjukkan kekhasannya, yang bukan pokok fundamental tentangnya.
Mengenai teori Aristoteles itu, Ibnu Bajjah menambahkan perihal empat aksiden rohani yang dipandangnya berpusat dalam diri insan.
Pertama, aksiden yang muncul karena adanya indra. Kedua, aksiden yang lahir lantaran adanya tingkah laku. Misalnya, rasa dahaga membuat orang segera mencari air. Dua aksiden terawal ini tidak hanya ditemukan pada manusia, tetapi juga binatang.
Ketiga, aksiden yang terwujud melalui hasil pemikir an akal rasional. Inilah yang dimiliki manusia (biasa). Keempat, aksiden yang ada akibat akal aktif". Wah yu yang diterima nabi, mimpi yang benar, atau il ham yang diperoleh seorang bijaksana dapat digolong kan ke dalam jenis yang terakhir ini.
Pembahasannya mengenai akal aktif tidak terlepas dari legasi al-Farabi. Sang guru kedua berpandangan, setiap insan memiliki watak bawaan sehingga siap menerima bentuk-bentuk pengetahuan universal, termasuk kebenaran (tentang adanya Tuhan).
Watak bawaan itu diistilahkannya sebagai akal potensial (al-'aql bi al-quwwah). Seperti tampak pada namanya, isinya adalah potensi-potensi yang akan mengabstraksikan bentuk-bentuk pengetahuan yang diserapnya. Akal potensial, setelah itu, meningkat menjadi akal aktual (al-'aql bi al-fi'il).
Proses abstraksi, menurut al-Farabi, hanya dapat terjadi setelah akal potensial menerima cahaya dari akal aktif. Hubungan antara akal aktif dan akal potensial itu seumpama matahari dan mata-manusia.
Dalam kegelapan yang pekat, sepasang mata hanyalah penglihatan potensial. Sementara itu, matahari yang merupakan sumber cahaya melakukan penyi nar an.
Dengan menerima cahaya atau pantulan caha ya itu, penglihatan potensial mata berubah menjadi penglihatan aktual".
Maka, objek-objek yang tadinya ber potensi dilihat menjadi benar-benar terlihat oleh mata. Lebih lanjut, cahaya matahari pun memung kinkan mata untuk menemukan matahari itu sendiri.
Dengan mekanisme seperti itu, cahaya akal aktif menyebabkan akal potensial berubah menjadi akal aktual yang bahkan bisa memahami akal aktif itu sendiri.
Sampai di sini, tampaklah bahwa al-Farabi dan juga Ibnu Bajjah merupakan kalangan pemikir yang meyakini, pengetahuan tidak diperoleh hanya melalui indra (empiris).
Baca jug: Ditanya Kiai Marsudi Soal KM 50, Prof Mahfud: Bukan Pelanggaran HAM Berat, Tapi…
Bagi mereka, bantuan akal aktif diperlukan sebagai inteligensi yang mengatur dan membuat manusia bisa mencapai isi ilmu, penalaran apodiktik, atau pengetahuan yang bersifat niscaya.
Terkait itu, Ibnu Bajjah menggagas klasifikasi manusia berdasarkan pertalian mereka dengan aka aktif. Pertalian yang dimaksud tidak bersifat afektif, apalagi indrawi, melainkan intelektual.
Gagasannya itu dituangkan dalam kitab Risalat al-Ittishal al-'Aql bi al-Insan (Uraian tentang Persatuan Intelek dengan Manusia).
Karya itu merupakan himpunan surat-menyurat yang dilakukannya dengan murid kesayangan, Ibnu al-Imam. Karena termaktub di sana, buah pikirnya mengenai kelas-kelas manusia itu di kemudian hari dikenal sebagai Teori Ittishal.