Kanselir Jerman Bela Kunjungan ke China atas Kesamaan Tolak Senjata Nuklir

Hubungan bisnis Jerman dengan China telah mendapat sorotan ketat sejak Februari.

Kay Nietfeld/Pool Photo via AP
Kanselir Jerman Olaf Scholz, kiri, bertemu dengan Perdana Menteri China Li Keqiang di Aula Besar Rakyat di Beijing, China, Jumat, 4 November 2022.
Rep: Dwina Agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan pada Sabtu (5/11/2022), pernyataan bersama dengan Presiden China Xi Jinping yang menentang penggunaan senjata nuklir di Ukraina telah cukup menjadi alasan untuk melakukan kunjungan ke Beijing.

Baca Juga


"Karena pemerintah China, presiden, dan saya dapat menyatakan bahwa tidak ada senjata nuklir yang boleh digunakan dalam perang ini, itu saja membuat seluruh perjalanan berharga," kata Scholz dalam acara partai Sosial Demokrat.

Komentar Scholz muncul sehari setelah kunjungannya ke negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia. Perjalanan ini menjadi yang pertama oleh pemimpin G7 sejak pandemi Covid-19.

Xi yang mendapatkan masa jabatan kepemimpinan ketiga dua minggu lalu setuju bahwa kedua pemimpin bersama-sama menentang penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir atas Ukraina. Namun China memilih menahan diri untuk tidak mengkritik Rusia atau menyerukan menarik pasukannya.

Scholz telah dikritik karena tampaknya melanjutkan strategi yang memaparkan ekonomi Jerman secara berlebihan ke China yang merupakan mitra dagang terpentingnya. Dia mengatakan, diversifikasi adalah kunci untuk membatasi kemungkinan dampak jika hubungan memburuk.

"Kami memiliki rencana yang jelas, dan kami mengikutinya. Dan itu berarti diversifikasi untuk semua negara tempat kami berdagang, terutama, tentu saja, negara yang sangat besar dan memiliki andil besar dalam ekonomi dunia," ujar Scholz.

"Kami akan melanjutkan pertukaran ekonomi dengan China. Namun juga jelas, kami akan memposisikan diri kami untuk dapat menghadapi situasi kapan pun di mana ada kesulitan, apakah itu 10 tahun dari sekarang atau 30 tahun," ujarnya.

Selama kunjungan ke China, sumber delegasi, Scholz memberi tahu para pemimpin bisnis, termasuk CEO Deutsche Bank, Volkswagen, BASF, Siemens, BMW, Merck, dan BioNTech untuk tidak menempatkan diversifikasi di belakang. Pada pertemuan tertutup, dia mengatakan, akan memakan waktu sekitar 10-15 tahun untuk sepenuhnya menghilangkan risiko.

"Mulai sekarang, jangan ditaruh di belakang. Lakukan sekarang," kata Scholz di acara pesta dalam komentar yang ditujukan kepada para pemimpin bisnis mengenai diversifikasi.

Sebuah sumber terpisah dari pemerintah mengatakan, ada kesan bahwa pesan tersebut telah meresap dan perusahaan melakukan diversifikasi sambil mengembangkan hubungan dengan China. Permintaan itu terutama penting bagi pembuat mobil Jerman yang aktif di China, pasar utama dunia, termasuk Volkswagen yang telah berulang kali dikecam karena pabriknya di wilayah Xinjiang mengingat laporan pelanggaran hak asasi manusia.

Bahan baterai, yang dibutuhkan untuk kemasan yang menggerakkan kendaraan listrik juga menjadi fokus. Pembuat mobil Jerman bergantung pada China untuk lithium, nikel, dan kobalt, sementara Eropa telah meluncurkan program untuk membangun pasokannya sendiri tetapi belum tersedia.

Hubungan bisnis Jerman dengan China telah mendapat sorotan yang lebih ketat sejak Februari ketika Rusia menginvasi Ukraina. Kondisi tersebut menyebabkan berakhirnya hubungan energi selama satu dekade dengan Moskow dan menyebabkan banyak perusahaan meninggalkan bisnis lokalnya. 

Xi juga menggembar-gemborkan perlunya kerja sama yang lebih besar antara negaranya dan Jerman. Keinginan itu disampaikan saat melakukan pertemuan pertama dengan kanselir Jerman pada Jumat (4/11/2022).

 Menurut Xi dalam siaran televisi pemerintah CCTV, sebagai negara besar yang berpengaruh seperti Beijing dan Berlin, harus lebih bekerja sama selama masa perubahan dan gejolak untuk demi perdamaian dunia.

 

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler