Akhir Pekan di Jakarta, Coba Wisata Sejarah di Kota Tua

Kota Tua yang sudah berganti nama menjadi Kota Batavia tawarkan wisata sejarah.

Republika/Umi Nur Fadhilah
Sejumlah bangunan sejarah di kawasan Kota Batavia, Kota Tua, Jakarta Barat.
Rep: Umi Nur Fadhilah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wisata sejarah akhir pekan di Jakarta bisa menjadi pilihan mengusir penat. Di Kota Tua, yang telah diganti nama oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi Kota Batavia, menawarkan banyak peninggalan sejarah yang menarik untuk dikunjungi masyarakat.

Baca Juga


Wisatawan dapat mulai dengan mengunjungi Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota Batavia. Bagunan museum ini dibangun pada 1870 sebagai Lembaga Peradilan tertinggi Belanda (Raad van Justitie). Peradilan ini mengurusi kasus-kasus perdata, seperti harta gono-gini, perceraian, penunggak pajak, dan lain-lain. 

Sebelum berada di bangunan museum, Raad van Justitie berlokasi di lantai dua Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta). Lantai 1 Museum Fatahillah merupakan kantor Gubernur Jenderal.

Gedung Museum Seni Rupa dan eramik juga pernah menjadi barak militer tentara Jepang. Pada 1990-an, pemerintah meresmikan bangunan itu menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik. Bagunan ini menjadi tempat pertama yang membolehkan orang punya hajatan di museum.

Di seberang Museum Fatahillah, wisatawan dapat mengunjungi Meriam Si Jagur, yaitu meriam kuno peninggalan Portugis yang sebelumnya ada di dalam Museum Fatahillah. Di dalam museum, Meriam Si Jagur berada di taman-taman yang dikelilingin banyak bunga. Karena adanya perawatan Museum Fatahillah, pengelola akhirnya memindahkan Meriam Si Jagur keluar.

Meriam ini memiliki simbol tangan mengepal, yang mengapit ibu jari di antara jari tengah dan telunjuk. Bagi orang Indonesia, simbol itu terkesan cabul atau mesum, tetapi ada makna bagi orang Portugis. 

Orang Portugis adalah sedikit dari bangsa Eropa yang percaya simbol itu. Bagi mereka, simbol itu artinya doa semoga sukses. 

Lain lagi bagi orang Asia, simbol itu menghalau setan. Sementara bagi orang Amerika, simbol itu merupakan bahan becandaan orang tua dan anak.

Di daerah Kali Besar (Grootegracht), wisatawan dapat piknik di tepi kali yang direvitalisasi pada 2018 menjelang Asian Games. Revitalisasi itu terinspirasi dari penataan Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea Selatan. 

Di sekitar Kali Besar, ada banyak bangunan sejarah, misalnya saja perusahaan penerbitan besar di Hindia Belanda, G. Kolff & Co. Sayangnya, bangunan G. Kolff & Co sudah rusak karena tidak digunakan atau dirawat dengan baik.

Kemudian, ada night club pertama zaman Belanda pada 1927. Sebelahnya ada Toko Merah (1740) yang sebelumnya menjadi kediaman Gubernur-Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff. 

Toko Merah juga sempat menjadi pasar budak, yang berasal dari Bali, Ambon, dan Manggarai. Bagunan itu pernah menjadi akademi kiliter hingga hotel. 

Kemudian, pengusaha Tionghoa membeli bangunan itu dan menjadikannya toko kelontong. Orang-orang Tionghoa biasanya tidak memiliki nama untuk tokonya. Namun, karena masyarakat tahunya bangunan berwarna merah sehingga disebut Toko Merah.

Ada juga gedung Chartered Bank of India, Australia, and China yang dibangun pada 1921. Bekas gedung bank ini menjadi salah satu bagunan yang masih kokoh berdiri di sekotar Kali Besar. 

Staisun Jakarta Kota sebelumnya bernama Batavia Zuid atau Batavia Selatan. Stasiun ini pernah ditutup pada 1926 karena renovasi, yang menjadi bangunan saat ini. Renovasi selesai pada 1929. 

Semua bangunan masih asli, kecuali ubinnya yang dahulu menggunakan kayu. Perancang bangunan stasiun adalah arsitek Ghijsels. 

Ghijsels sangat senang dengan filosofi Yunani, sehingga dia menamai bangunan stasiun Indische Bouwen, yaitu perpaduan bangunan Eropa dan Nusantara. Ghijsels mengaplikasikan filosofi Yunani untuk membangun stasiun, yaitu kesederhanaan adalah jalan pintas menuju kecantikan. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler