Mencari Warisan Islam Dalam Musik: Dari Ibu Sina, Al Faraby, Hingga Cat Steven
Warisan Islam dalam musik sampai hari ini banyak yang tak tahu.
Sejarah peradaban mencatat, filsuf Yunani, Socrates,selain tak mempercayai sistem demokrasi, ternyata juga ‘membenci’ musik. Bahkan dia pernah memperingatkan buruknya pengaruh musik:’’Bila seorang pria membiarkan musik membuainya kemudian meresapkan lagu-lagu yang manis, lembut, dan syahdu maka ia akan menjadi prajurit (orang) yang lemah!’’
Bagi sebagian kalangan umat Islam masa kini stigma bahwa musik sebagai sebuah sajian berbahaya, masih bisa dijumpai. Beberapa tahun silam, dalam sebuah perhelatan penutupan konprensi cendekiawan dan ulama Islam internasional yang diselenggarakan PB NU di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, tiba-tiba saja sebagian ulama ada yang langsung ke luar ketika grup musik Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib beraksi. Entah karena alasan ada penyanyi perempuan naik ke panggung, atau tidak suka akan musik,tiba-tiba mereka bergegas pergi ketika sajian musik mulai diperdengarkan.
‘’Ah, mereka mungkin jengah saja, ketika melihat perempuan menyanyi dipanggung. Saya yakin mereka tetapvsuka musik,’’ kilah Emha Ainun Nadjib saat itu. Dia menanggapi ‘kepergian’ beberapa tokoh delegasi asing itu ke luar dari ruang jamuan makan malam yang memang digelar di Hotel Borobudur.
Fenomena itulah yang kemudian menyisakan pertanyaan, apakah ada peninggalan musik dalam peradaban Islam? Kalau pun ada, siapa tokohnya? Dan dalam bentuk apa warisan ‘musik’ Islam?
Untuk menjawabnya jelas tak mudah. Apalagi belakangan ini, ketika terjadi konser musik yang dihadapi ribuan orang, kerapkali terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
Ajaran Islam memang sangat mengkhawatirkan keadaan ketidaksadaran yang berlebihan (ektase), karena di sanalah ‘rumah setan’ yang sebenarnya. Celakanya, situasi ini seringkali muncul pada diri seseorang akibat mendengarkan musik.
Al Ghazali pun sangat gelisah ketika menyadari hal ini. Dia mengaku betapa musik mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi jiwa seseorang. Akibatnya, kemudian kaum sufi mengambil inisiatif mempergunakan musik sebagai media untuk membebaskan diri dari kerutinan kegiatan spiritual sehari-hari. Cara ini dianggap ampuh untuk mengalihkan pengaruh buruk musik hingg menjadi sebuah cara untuk mencari ‘jalan’ untuk bertemu Sang Khalik.
Memang Al Ghazali kadang dianggap ‘puritan’ karena tak suka gemerlap dunia. Tapi pada sisi lain dia ternyata seorang teoritis musik yang tangguh. Dalam bukuny yang diterjemahkan Barat menjadi ‘Music and Ectase’ dia mengupas bahwa musik itu punya potensi besar, sehingga sebanding dengan pengaruh Alquran itu sendiri.
Begitu pula dengan musikan masa kini Cat Steven yang kini menganti nama menjadi Yusuf Islam. Dia pun mengakui betapa musik mempunyai pengaruh dahsyat bagi pendengarnya. Katanya, ’’Awalnya, bila mendengar musik, maka kaki mulai bergoyang. Setelah itu, kemudian getarannya merambat ke seluruh badan. Kalau begitu apakah saat itu akal dan hati akan berfungsi?’’
Dalam hikayat klasik peninggalan masa kekhalifahan Islam, Seribu Satu Malam, tergambarkan betapa besar pengaruh musik dalam peradaban. Bagi banyak orang saat itu musik dianggap layaknya daging dan obat bagi kehidupan. Dan dari sinilah kemudian terlacak pengaruh musik peninggalan peradaban Islam yang ternyata pengaruhnya sedemikian luas, membentang dari wilayah Samarkand hingga kawasan Samudera Atlantik.
Nama teoritis besar yang paling awal harus dicatat adalah Ibnu Misjah (704-714 M). Dia memasukan sebuah aliran musik yang diberi nama 'iqa' (rythym, bhs Inggris). Selain itu dia berjasa besar untuk menyambung kembali peninggalan teori musik peninggalan Yunani, seperti teori skala peninggalan Phytagoras. Teori ini oleh Misjah kemudian disunting dengan elemen-elemen musik Persia dan Byzantium.
Namun setelah ‘dibangkitkan’, teori Phytagoras it terus mengalami perbaikan. Pembaharuan awal dilakuan oleh Al-Mausili (meninggal tahun 850 M). Teori dia terus bertahan sampai meninggalnya seniman termashur yang lain, yakni Al- Isfahani, pada tahun 957 M. Setelah itu timbul skala musik baru, yakni teori Zalzalian dan Khurasian. Teori baru ini sangatlah membantu untuk mengenali kembali sistem lama dari teori musik peninggalan Yunani, seperti teori dari Aristoteles, Ptolemus, Aristemus, Euclid, serta Nimomachus.
Jejak teori itu kemudian berbekas pada karya musik Al-Kindi (tahun 874 M), Al Isfahani dan Ikhwan Al-Safa (tahun 1000 M). Imbasnya, setelah paruh abad ke-10 M itulah sistem musik Arab, Persia, dan Byzantium menjadi berbeda. Untuk selanjutnya, yakni mulai ada ke-11, ide-ide musik dari Khurasnian tercampur menjadi satu.
Bapak ilmu sosiologi, Ibnu Khaldun, ternyata juga turut memberi andil dalam pengembangan musik. Dia juga giat memberikan ide baru pada pengukuran 'iqa'. Dia menyemangati para vokalis musik dengan mengatakan pelantun lagu adalah mata air utama sajian musik.
Dan sumbangan dunia Islam terhadap sajian musik dapat dilacak dari pengenalan dan penyempurnaan beberapa alat musik akustik. Hal ini terdapat pada beberapa alat musik seperti drum, flute, dan penyempurnaan sistem hidrolik pada organ.
Siapakah para pelakunya? Jawabnya, beberapa kreatornya ternyata para ilmuwan Islam legendaris. Peletak dasar pengobatan moderen, Al Farabi, pada tahun 950 M telah melakukan beberapa improvisasi terhadap 'rabbab'. Nama lain yang tak kalah penting adalah Ibnu Bagja (di barat dikenal dengan Avempace). Ia mempunyai reputasi sebagai tokoh yang memperkenalkan musik pada dunia belahan timur.
Pesatnya perkembangan musik pada kurun itu juga diikuti dengan ‘menjamurnya’ sekolah musik. Salah satu pengajarnya yang paling terkemuka adalah Safial al Din. Bahkan, karya-karya dari sekolah musik terkenal itu sekarang masih bisa dilacak.
Selain Al Farabi, di Barat termashur pula sosok Ibnu Sina sebagai musikus papan atas. Ibnu Sina yang hadir lebih belakangan dibandingkan Farabi, meninggalkan karya monumental yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Introduction to The Art of Music. Karya ini kemudian di rangkum dalam buku Division of The Science. Semua karya itu kini tersimpan rapi di British Museum.
Jasa penting yang ditinggalkan para musisi Islam adalah tentang cara penulisan notasi musik. Musisi-musisi besar yang tercatat di antaranya Ali Mas’udi (tahun 967 M), Al Isfahani dengan karya ‘Meadow of Gold’ yang dianggap merupakan notasi karya musik Arab paling menarik. Karya Isfahani lainnya yang merupakan yang merupakan kumpulan notasi musik dalam 21 seri, yang di Inggris diberi nama sebagai ‘The Great Song of Musik’. Karya lain dari dia adalah tulisan tentang buku musik yang terdapat dalam empat volume. Kepiawaian inilah kemudian membuat Isfahani oleh Ibnu Khaldun dijuluki sebagai ‘diwan’ dari Arab.
Sedangkan karya sejenis itu yang tidak boleh dilupakan adalah ‘The Index of Muhammad Ibnu Ishaq al Waraq yang ditulis pada kurun waktu 994-995 M. Dan kini pun di dunia Barat masih terlacak karya-karya musik lain, ‘The Unique of Neklace’ dari Ibnu ‘Abd Rabbihi (tahun 940 M). Kemudian, karya Yahya al Khuduj al Mursi dengan ‘The Book of Song’.
Sedangkan penulis teoritisi musik muslim lainnya diketahui Yunus al-Khatib (tahun 765 M), Ibnu Khalil (tahun 791 M) di mana teori mereka diperkenalkan hingga Spanyol oleh Ibnu Firnas (meninggal tahun 888 M). Teori inilah yang nantinya memberikan pembaruan pemikiran mengenai pengetahuan musik di Andalusia. Teoritisi musik lainnya yang tercatat adalah Ishaq Al Maushi di mana teori-terori musiknya dirangkumkan dalam ‘Book of Notes and Rhytms.’’
Setelah itu datanglah musisi besar lain, Al Buzani dengan karya monumental ‘Compedium on Science of Rhythm’. Disusul kemudian dengan hadirnya Ensklopedi dari Ikhwan al Safa pada abad ke-10 M serta sebuah karya mencengangkan dari Muhammad al Khawarizimi yang membahas mengenai banyak teori tentang musik, ‘Keys of The Science’.
Pesatnya perkembangan musik disebabkan karena umat Islam saat itu membuka diri terhadap ide-ide baru yang datang dari luar sepanjang itu bermanfaat. Salah satu usaha yang dilakukan memang dengan melakukan penerjemahan berbagai teori musik Yunani itu. Yuhana Ibnu al Batrik dan Hunanin bin Ishaq yang menerjemahkan karya Aristoteles, yakni ‘Problematika’ dan ‘de Anima’, serta teori musil Yunani lainnya, seperti karya Themistius, Simplicus, Galens’s de Voce, dan Arisxonus yang terangkum dalam buku ‘The Principles of Harmony’.
Yang paling unik, diantara nama besar itu, terdapat nama ahli fisika dan matematika Ibnu al Haitam. Jasa dia dalam pengembangan musik adalah dengan banyaknya buku yang ditulisnya mengenai karya musik Yunani dan Mesir. Setelah itu muncul pula Ibnu Naqash, Al Bahili, serta Ibnu Zaila yang menulis ‘The Book of Sufficience in Music’.
Namun zaman keemasan musik itu berhenti setelah jatuhnya Baghdad akibat diserang bala tentara Mongolia. Entah mengapa, pada waktu itu para musisi mulai terkena berbagai macam diskriminasi dengan munculnya peraturan perumahan, sebagai usaha melarang mereka menggelar pertunjukan musik.
Pencekalan ini pun sebenarnya pernah berusaha dilawan oleh Ibnu Khaldun. Dia tetap berupaya keras untuk menggelar pertunjukan musik dengan cara menggelar karya-karya yang diambil dari ‘Progomena’. Tindakan perlawanan atas pembatasan kreasi itu terus dicoba dijalankan oleh Mustarat al Ibhisi yang meninggal padatahun 1446 M.
Alhasil, dari sinilah nasihat Sokrates bahwa musik hanya membuat ‘banal’ peradaban tak terbukti. Musik tak selalu membuat orang menjadi lemah mentalnya. Bahkan sebaliknya, melalui komposisi yang baik, musik bahkan dapat menjadi pengobar semangat bagi prajurit yang akan maju bertempur.
Pada sisi lain, musik juga menyumbangkan banyak arti bagi peradaban. Dan sampai sekarang pun kepercayaan ini masih terbukti benar adanya!