Polemik Pemilihan Rektor PTKIN, Tawaran Jalan Keluar
Pemilihan rektor PTKIN oleh menteri agama menuai polemik
Oleh: A Fahrur Rozi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pemilihan Rektor di lingkungan kampus PTKIN kembali menuai problematik. Beberapa pihak menilai, sistem pemilihan Rektor oleh Menteri Agama (Menag) adalah suatu pembodohan politik dan pembungkaman demokrasi.
Adalah Saiful Mujani, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada beberapa hari yang lalu memberikan kritik keras dan bernas terhadap sistem pemilihan tersebut. Dia menyebut sistem pemilihan Rektor oleh Menag adalah praktik jahiliyah yang tidak beradab.
Jelang beberapa hari dari kritik Saiful Mujani yang disorot media itu, Dirjen Pendidikan Islam M Ali Ramdhani angkat bicara menyambut kritik dari Pendiri Lembaga Riset SMRC itu. Kondisi ini tentu menarik perhatian dan perbincangan ulang.
Menarik perhatian karena instrumen kewenangan pengangkatan Rektor oleh Menag menuai kritik kembali mendekati adanya suatu momentum suksesi rektorat salah satu kampus, dan menarik perbincangan ulang sebab akan menguji nalar regulasi dalam lensa sistem-struktural demokrasi kampus.
Mekanisme empat tahap
Dalam mekanisme aturan pengangkatan Rektor yang tertuang dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor (PMA) 68 Tahun 2015, dikatakan ada empat tahapan yang harus ditempuh, mulai dari penjaringan bakal calon, pemberian pertimbangan, seleksi, dan penetapan.
Tahap penjaringan bakal calon ini dilakukan panitia yang dibentuk berdasarkan keputusan dari pihak Rektor yang masih menjabat. Tahap ini dilakukan secara terbuka bagi yang mencukupi syarat kelayakan sebagaimana disebut dalam Pasal 3 tentang syarat pencalonan.
Kemudian, hasil penjaringan itu diserahkan kepada Dewan Senat untuk mendapatkan pertimbangan secara tertutup meliputi gagasan kepimimpinan dan kondisi faktual.
Hal ini seperti prestasi, jaringan, penelitian, dan pengabdian yang telah diberikan baik di lingkungan kampus maupun kepada khalayak umum. Kemudian hasil pertimbangan ini diberikan kepada Menag melalui Rektor yang menjabat.
Tahap selanjutnya dilimpahkan kepada Komisi Seleksi yang dibentuk oleh Menag. Komisi ini berjumlah ganjil dengan jumlah minimal beranggotakan tujuh orang.
Komisi ini bertugas untuk melakukan verifikasi faktual, uji kelayakan dan kepatutan terhadap hasil penjaringan bakal calon dan sudah mendapat pertimbangan dari Senat kampus.
Dalam tahap ini, Komisi Seleksi dituntut mengeluarkan tiga nama untuk diserahkan dan ditentukan oleh Menag itu sendiri.
Baca juga: Dulu Anggap Islam Agama Alien, Ini yang Yakinkan Mualaf Chris Skellorn Malah Bersyahadat
Tahap yang terakhir adalah penetapan Rektor yang dilakukan Menag terhadap tiga nama calon yang telah diajukan oleh Komisi Seleksi.
Diskursus problematik
Hal yang menjadi problematik dari sistem pemilihan Rektor adalah kewenangan Menag dalam menentukan siapa Rektor yang akan menjabat nantinya.
Kewenangan Menag ini didapat dari PMA Nomor 68 Tahun 2015 yang menghapus PMA Nomor 45 Tahun 2006 di mana Rektor ditetapkan berdasarkan mekanisme dan keputusan dari Senat kampus. Setidaknya terdapat dua argumentasi yang diajukan dalam diskurusus polemik ini.
Pertama, pihak yang kontra dengan instrumen kewenangan Menag. Kritik yang diluncurkan Saiful Mujani dan pihak yang serumpun dengannya ini diterminkan dengan kritik “mekanisme feodalistik”.
Kritik ini berpandangan bahwa tidak selayaknya Menag sebagai pihak di luar kampus ikut campur tangan secara berlebihan (offside) dalam menentukan pimpinan kampus.
Sebagai pihak yang tidak inheren dengan urusan kampus, kuasa Menag dalam menentukan Rektor patut dipertanyakan, berdasarkan apa keputusan itu diambil.
Kondisi inilah yang mengakar kuat melahirkan adanya anasir “menagisasi kampus” di mana seorang Rektor dipilih hanya melalui pertimbangan kekerabatan dan kedekatan (dinasti).
Di lain pihak, kuasa Menag itu adalah bentuk ikhtiyar normatif dalam mengembalikan khittah akademis kampus. Menurut mereka yang setuju dengan kuasa administratif Menag ini, kampus adalah ruang dengan entitas keilmuan yang harus dibersihkan dari anasir politis di luarnya.
Pergantian Rektor merupakan perwujudan suatu arah baru sistem pendidikan yang terus berkemajuan.
Keberadaannya tidak boleh memunculkan suatu pergumulan politik di internal kampus yang pada akhirnya timbul arogansi struktural dan permusuhan elektoral. Hal ini oleh M Ali Ramdhani dikatakan bahwa kampus itu civitas akademika dan bukan civitas politika .
Dari sinilah keberadaan kuasa Menag berdasarkan instrumen kewenangan itu menjadi solusi normatif yang berusaha menengarai konflik elektoral berkepentingan antara beberapa pihak dalam kampus.
Tentu hal ini tidak diinginkan terjadi, apalagi pada gilirannya membentuk suatu ekosistem politik turun temurun di mana kultur akademik kampus terpaksa tergantikan dengan hegemoni pergulatan politik yang tidak berkesudahan.
Menguji konsistensi ide
Hal yang perlu kita uji di sini adalah munculnya ide soal mekanisme pemilihan Rektor dikembalikan kepada Senat kampus. Tuntutan ini meyakini pihak kampus memiliki kewenangan yang inheren dan potensi kebenaran yang koheren.
Senat sebagai orang hidup di lingkungan kampus lebih berhak berdasarkan pengalaman dan bacaan faktual terhadap dinamika dan harapan warga kampus. Tantangannya sejauh mana para anggota Senat bisa merepresentasikan (representative democracy) warga kampus dalam keputusannya.
Secara konseptual, Jurgen Habermas (1992) mengajukan deliberasi terhadap kegagalan demokrasi. Tawarannya adalah, mekanisme prosedural tidak hanya berpacu dengan lembaga formal-representatif kampus semata, tetapi menyangkut seluruh warga kampus secara keseluruhan.
Artinya, ide tadi inkonsisten dalam mengembalikan demokrasi seutuhnya jika hanya melalui sirkulasi elite kampus, yaitu para anggota Senat. Potensi inilah yang dikhawatirkan memunculkan adanya intervensi dan ladang transaksi para oligarki untuk kepentingan elitis-sektoral pihak tertentu.
Selanjutnya, pemilihan Rektor oleh Menag. Kita perlu melihat PMA 68/2015 yang tentunya lahir dari pertimbangan nalar dan moral (Mujiburrahman, 2022). Kalau merujuk pada Pasal 4 PMA 68/2015, misalnya, Menag tidak serta merta memiliki instrumen penetapan yang absolut (sewenang-wenang).
Sebagai lembaga yang berwenang, Menag juga tunduk pada mekanisme kompetensi para calon potensial yang berlaku, dan hal itu dipasrahkan sepenuhnya kepada pihak internal kampus, termasuk kuasa pertimbangan Senat.
Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama
Ladang kompetensi inilah yang menjadi jawaban terhadap suatu paradoks dan paradoks ruang ekspresi demokrasi dalam suatu sistem pemilihan kampus saat ini.
Akan tetapi, sistem Menag ini bukan berarti tanpa masalah. Sejauh mana Menag dengan keputusan yang menyangkut pemilihan Rektor ini memiliki dasar pijakan dan pertanggungjawaban baik secara substantif, administratif, dan transparan.
Artinya, terdapat tuntutan di mana keputusan Menag nanti tidak boleh absen dengan pertanggungjawaban (geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid).
Alhasil, jika keputusan didapati ketidaksesuaian nantinya, ada ruang demokratis di mana pihak yang dirugikan dan merasa tidak puas dapat mengekspresikannya dalam suatu tuntutan.
*Departemen Kajian dan Pengembangan Intelektual Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah se-Indonesia (Demfasna) 2021-2023