Impor Beras: Antara Pertaruhan Gelar Swasembada atau Stabilitas Harga

Mengatasi persoalan beras seyogyanya tak sekadar mengandalkan pemerintah (Bulog).

Dok IPB University
Prof Hermanto Siregar, Guru Besar IPB University dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Capaian Indonesia atas swasembada beras tiga tahun terakhir hingga mendapat penghargaan lembaga internasional IRRI, menjadi pertaruhan tersendiri bagi pemerintah, di tengah cadangan beras Bulog yang menipis. Minimnya ketersediaan yang dapat diserap oleh Bulog berujung pada kemungkinan dibukanya keran impor.


Pakar Pertanian dari IPB University, Hermanto Siregar, mengatakan, produksi beras di akhir tahun memang tipis karena panen raya hanya terdapat di sekitar bulan Maret-April dan Agustus. Di satu sisi, curah hujan tinggi yang terus berlangsung cukup berpengaruh pada kemampuan produksi dari para petani.

"Jadi, kalau memang saat ini stok beras di Bulog tipis, cadangannya harus mencukupi dan konsekuensinya mereka melakukan impor," kata Hermanto kepada Republika.co.id, Rabu (30/11/2022).

Pasokan cadangan beras pemerintah di Bulog hanya tersisa sekitar 560 ribu ton, dari batas aman yang ditetapkan 1,2 juta ton. Badan Pangan Nasional (NFA) mencatat, setidaknya dibutuhkan 300-400 ribu ton operasi pasar oleh Bulog pada bulan November-Desember untuk meredam gejolak harga beras saat ini.

Kenaikan harga beras terutama terjadi pada kelas medium di mana telah tembus Rp 11.180 per kg secara nasional.

Hermanto menilai, importasi dengan tujuan menambah cadangan beras pemerintah di Bulog sah-sah saja. Namun, ketika beras impor masuk, Bulog harus dapat mengatur ritme penyaluran agar tak menganggu pasar beras dalam negeri. Sebab, tetap akan ada petani yang melakukan panen meski tak besar.

"Impor itu ya tidak masalah. Penghargaan yang kita terima itu kan untuk tahun-tahun kemarin. Dinamika iklim secara signifikan bisa mempengaruhi produksi. Tapi, memang malu-lah kita kalau kemarin dibilang hebat, tahu-tahu impor," ujarnya.

Ia menambahkan, mengatasi persoalan beras seyogyanya tak sekadar mengandalkan pemerintah melalui Perum Bulog. Sebab, kapasitas gudang Bulog sekitar 4 juta ton hanya memenuhi 7 persen dari total konsumsi nasional. Sisanya, ada pedagang, penggilingan, dan perusahaan swasta yang bisa ikut dikerahkan.

Koordinator Nasional, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan, kisruh impor beras akhir tahun ini menjadi citra buruk bagi pemerintah.

Pasalnya, isu impor berkembang di tengah proyeksi data surplus produksi dari Badan Pusat Statitik. "Ini menjadi satu preseden buruk, walau data surplus tapi tidak mengelola surplus beras itu. Berarti tata kelola cadangan pangan nasional tidak cukup bagus," katanya.

Said mengatakan, pemerintah selama ini selalu bertumpu pada cadangan beras di Bulog. Padahal, semestinya ada cadangan pangan daerah yang dapat dimanfaatkan sehingga opsi impor ketika cadangan Bulog menipis menjadi pilihan terakhir dalam situasi paling mendesak.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler