Garam, Mimikri, dan Pengamalan Ajaran Islam

Dalam menjalankan ajaran Islam, kita wajib bersikap seperti garam. Tidak merubah warna, tidak menyesuaikan dengan lingkungan tapi dapat merubah rasa makanan menjadi lebih enak. Kita harus mengedepankan dan melaksanakan esensi nilai-nilai ajaran Islam

retizen /Ade Sudaryat
.
Rep: Ade Sudaryat Red: Retizen

Jika gula menjadi pemanis rasa kehidupan, maka garam merupakan penyeimbangnya. Makanan tanpa garam akan terasa hambar, terasa tak enak, hambar di lidah. Karenanya, meskipun cuma sedikit garam yang ditambahkan terhadap makanan sangat berpengaruh terhadap rasa.


Lebih dari itu, meskipun garam dapat merubah rasa makanan atau masakan, garam tidak merubah warna makanan atau minuman. Jika sesendok garam dituangkan ke dalam segelas air bening, warna airnya tidak begitu nampak berubah, namun rasanya jelas berubah menjadi asin.

Kehidupan kita sejatinya seperti garam. Kita dapat merubah rasa kehidupan kita beserta lingkungan kita menjadi kehidupan yang penuh rasa, tidak hambar. Dengan kata lain, kehadiran kita di tengah-tengah kehidupan harus menjadi pemantik semakin meningkatnya kualitas rasa kehidupan dan lingkungan kita, tanpa memaksakan diri apalagi mengancam, memaksa orang lain, dan lingkungan untuk berubah sesuai dengan keinginan kita.

Demikian pula dalam melaksanakan ajaran Islam, selayaknya kita seperti garam. Meskipun sedikit dari ajaran Islam yang kita amalkan, namun semua orang dapat merasakannya. Ketika kita tidak ada, mereka merasa kehilangan keteladanan. Dengan kata lain, dalam melaksanakan ajaran Islam, esensinya yang lebih dikedepankan, bukan penampilan dan aksesoris yang dianggap Islami namun hampa dari pengamalan ajaran Islam yang sebenarnya.

Bersikap seperti garam merupakan sikap yang berorientasi dari kedalaman nilai (inner orientation), berpenampilan sederhana namun kaya makna. Sikap ini lebih menekankan kepada pengembangan diri daripada memamerkan diri, lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas.

Keberhasilan dakwah Rasulullah saw dalam menyampaikan ajaran Islam adalah senantiasa mengedepankan esensi dari ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Kemuliaan akhlak seperti kejujuran, menghargai hak azasi, bertindak adil, dan mengedepankan tolerani selalu mengikuti dakwah-dakwahnya. Ia selalu mengingatkan para sahabatnya agar lebih mengedepankan akhlak dan memberi contoh pengamalan ajaran Islam dalam menyebarkan ajaran Islam daripada mengedepankan penampilan dan retorika dalam berbicara.

“Hamba yang paling dibenci Allah adalah orang yang pakaiannya lebih baik daripada amal perbuatannya, ia mengenakan pakaian seperti pakaian para nabi tetapi kelakuannya seperti kelakuan orang-orang jabbarin (orang-orang durhaka yang menyombongkan diri).” (HR. Ad-Dailami, dalam Mukhtaru al-Ahaditsu al Nabawiyah, huruf hamzah, hal. 2).

Hemat penulis, hadits tersebut dapat dimaknai kita jangan memiliki sikap mimikri. Sikap ini merupakan sikap menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal, namun hakikat dirinya tidak berubah. Seperti bunglon yang dapat menyesuaikan warna kulit tubuhnya dengan lingkungan tempat tinggalnya, namun tidak merubah tubuh dan jiwanya. Ia tetaplah bunglon, warna kulitnya saja yang berubah.

Dari sudut pandang filsafat, bersikap mimikri dapat dimaknai sebagai sikap kepalsuan, sikap kepura-puraan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal. Tujuan dari sikap mimikri ini selain untuk melindungi diri juga untuk menarik simpati dari lingkungan sekitarnya.

Orang yang bersikap mimikri bertujuan agar dirinya dianggap seperti orang-orang yang ada di sekitar tempat ia tinggal. Orang yang bersikap mimikri biasanya bersikap tidak konsisten, tidak istikamah dengan apa yang dilakukannya. Semuanya tergantung kepada lingkungan tempat ia berada.

Seorang wanita yang kesehariannya tidak memakai hijab, tiba-tiba ia memakai hijab karena ia sedang berdialog atau bersilaturahmi dengan komunitas kaum hawa yang berhijab. Karena suatu kepentingan, entah itu kepentingan politik, ekonomi, maupun kepentingan lainnya, kaum pria yang jarang bersarung, memakai peci dan baju koko lengkap dengan serban, ia terpaksa memakainya, menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan, misalnya karena ia sedang berkunjung ke pondok pesantren.

Dalam kehidupan sosial-politik pun demikian. Biasanya kehidupan orang-orang kecil yang terbiasa hidup dalam kubangan kemiskinan sering menjadi sasaran mimikri dari orang-orang yang berkepentingan. Karena kepentingan politik, banyak orang yang tiba-tiba ikut merasakan menjadi orang kecil.

Bukan rahasia lagi banyak politisi yang tiba-tiba ikut berpeluh keringat menjadi petani kecil, merasakan menjadi buruh tani walaupun cuma beberapa jam saja. Ada pula politisi yang tiba-tiba ikut antri makan di warung nasi sederhana tempat makan orang-orang kecil, dan lain sebagainya. Semuanya dilakukan demi meraih simpati khalayak.

Namun namanya juga mimikri, apa yang mereka lakukan tidak konsisten atau istikamah. Pada hari-hari berikutnya ia kembali menjadi dirinya sendiri yang asli, tidak lagi menjadi orang-orang kecil yang terpinggirkan apalagi merasakan penderitaannya.

Dalam menjalankan ajaran Islam, kita wajib bersikap seperti garam. Tidak merubah warna, tidak menyesuaikan dengan lingkungan tapi dapat merubah rasa makanan menjadi lebih enak.

Kita harus mengedepankan dan melaksanakan esensi nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan dan menjadi teladan bagi lingkungan sekitar kita. Namun demikian, simbol-simbol Islam masih harus tetap dikedepankan, dipertahankan dan dilaksanakan selama simbol-simbol tersebut merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pelaksanaan ajaran Islam.

Kita harus menghindari bersikap mimikri dalam melaksanakan ajaran Islam. Sikap ini hanya akan melahirkan kepura-puraan atau kepalsuan dalam melaksanakan ajaran Islam. Sikap kepura-puraan atau kepalsuan dalam melaksanakan ajaran Islam hanya akan melahirkan sikap inkonsisten dan merusak kemuliaan Islam.

Dalam hal kepura-puraan atau bersikap yang penuh kepalsuan, tidak ada salahnya kita merenungkan kata-kata dari Marcus Tullius Cicero, salah seorang filosof Yunani, “Kemuliaan sejati berakar, dan bahkan menyebar. Sementara semua kepura-puraan itu palsu, seperti bunga yang jatuh ke tanah. Kesegarannya tak akan bertahan lama. Perlu juga diingat, tidak ada barang palsu yang bisa bertahan lama.”

Ilustrasi : petani garam (sumber gambar : republika.co.id)

sumber : https://retizen.id/posts/191846/garam-mimikri-dan-pengamalan-ajaran-islam
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler