Soal Pasal Perzinahan, KSP: Kritik Perlu Diletakkan pada Porsinya

KUHP lama tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Republika/Wihdan Hidayat
Aliansi masyarakat dan mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak pengesahan RKUHP di Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Selasa (6/12/2022). Mereka menolak pengesahan RKUHP karena menganggap banyak pasal-pasal yang bermasalah.
Rep: Dessy Suciati Saputri Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Ahli Utama KSP Ade Irfan Pulungan menyampaikan, dengan telah disahkannya RUU KUHP menjadi undang-undang, Indonesia memiliki kodifikasi hukum pidana sendiri dengan paradigma pemidanaan modern dan relevan dengan nilai-nilai Indonesia. Irfan pun menilai, kritik masyarakat terhadap KUHP tersebut harus diletakkan sesuai dengan porsinya.

Secara spesifik, dalam ketentuan terkait perzinahan misalnya, Irfan menyampaikan aturan tersebut semestinya dimaknai sebagai bentuk upaya menjamin kepastian penegakan hukum pidana dan merupakan delik aduan.

“Pembatasan pihak-pihak yang dapat mengadukan tindak pidana perzinaan yang sifatnya limitatif, di antaranya oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan serta orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan, justru dapat mengurangi risiko perilaku main hakim sendiri di tengah masyarakat,” kata Irfan, dikutip dari siaran pers KSP pada Rabu (14/12/2022).

Perlu diketahui, Pasal 412 ayat (1) KUHP baru mengatur setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Namun, pemerintah sudah meluruskan bahwa narasi yang berkembang saat ini dipenuhi mispersepsi.

Karena itu, Irfan mengimbau agar kritik terhadap KUHP diletakkan pada porsinya. “KUHP sebagai manifestasi hukum pidana harus pula diuji pada koridor hukum pidana, karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan ranah hukum lainnya,” ungkapnya.

Dengan disahkannya RUU KUHP menjadi undang-undang pada 6 Desember 2022 yang lalu, upaya panjang pembaharuan KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda berakhir setelah 59 tahun dibahas di DPR. “KUHP lama tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum pidana dan kondisi masyarakat di Indonesia, karena semangatnya jauh berbeda. Kali ini semangatnya bukan hanya menekankan pemidanaan, tetapi kepastian hukum yang mencirikan pidana modern dengan mengandung 3 (tiga) unsur prinsipil, yakni keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif,” ucap Irfan.


Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler