Terpukau Bahasa Visual Avatar: The Way of Water
Avatar: The Way of Water sedang tayang di bioskop.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandora telah menjadi rumah bagi Jake Sully (Sam Worthington). Pria asal Bumi itu kini merupakan bagian tak terpisahkan dari suku Na'vi. Sully menikmati kehidupan bersama pasangannya, Neytiri (Zoe Saldaña), serta keempat anak mereka.
Sayangnya, kebahagiaan keluarga Sully dan suku Na'vi menghadapi ancaman besar. Sebuah peristiwa tak terduga mengharuskan keluarga Sully pergi dari rumahnya. Mereka melakukan perjalanan melintasi Pandora, dan akhirnya sampai di wilayah klan Metkayina.
Klan itu tetap bagian dari suku Na'vi, namun hidup selaras dengan lautan. Di sana, keluarga Sully harus belajar menavigasi dunia air yang indah sekaligus penuh misteri. Bisakah mereka mendapatkan penerimaan dari komunitas baru yang menatap dengan penuh selidik?
Film Avatar: The Way of Water yang mengisahkan keluarga Sully sudah bisa ditonton di bioskop Indonesia. Sinema besutan 20th Century Studios itu merupakan sekuel dari Avatar (2009), yang saat perilisannya mendapat predikat film terlaris sepanjang masa.
Menghadirkan sekuel dari film paling sukses sepanjang masa adalah tantangan besar, namun sutradara James Cameron berhasil meraciknya dengan pas. Pilihan Cameron untuk fokus di bagian dunia Pandora yang belum diceritakan sebelumnya, yaitu wilayah laut, membuat sekuel ini layak dinantikan.
Penonton bakal terpukau dengan bahasa visual Avatar: The Way of Water yang keindahannya tidak main-main. Bisa jadi penonton yang tidak melihat film terdahulu akan bertanya-tanya di awal, tetapi alur film ini bisa memberi penjelasan gamblang mengenai konflik yang disorot.
Jarak perilisan yang jauh antara film pertama dan sekuel ini "termaafkan" berkat keindahan Pandora yang dieksplorasi dengan cakap, terutama adegan-adegan di bawah laut. Kehadiran sejumlah tokoh baru juga menarik dan amat mendukung bangunan cerita.
Meski begitu, penonton perlu sedikit jeli supaya bisa membedakan deretan karakter baru itu, serta memahami konfliknya masing-masing. Bisa jadi semula penonton sulit membedakan para tokoh "biru" tersebut, tapi seiring rentetan adegan, para tokoh itu mulai bisa dikenali.
Durasi film pun cukup panjang dan agak melelahkan. Dari segi cerita, premis konflik dalam film 13 plus ini sebenarnya cukup standar. Bahkan, seperti ada pengulangan dari film pertama.
Bedanya, aspek keluarga punya porsi lebih besar. Film sarat emosi ini menunjukkan betapa pentingnya keluarga dalam hidup.
Seperti film pertama, The Way of Water juga mengusung isu pelestarian lingkungan, tentunya kini lebih fokus soal lautan. Tidak perlu capek-capek menantikan adegan tambahan di akhir film. Lebih baik, menunggu dengan sabar tiga sekuel lain yang sudah direncanakan Cameron.