Alasan BPOM dan Kemenkes Digugat Terkait Kasus Gagal Ginjal Akut Anak

Kuasa hukum korban gagal ginjal menyebut ada sembilan pihak yang menjadi tergugat.

ANTARA FOTO/Ampelsaa
Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Dian Fath Risalah

Baca Juga


 

Tim kuasa hukum gugatan perwakilan kelompok atau class action kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) mencantumkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai pihak tergugat. Kedua lembaga negara tersebut dinilai abai. 

Kuasa hukum korban gagal ginjal, Awan Puryadi menyebut total ada sembilan pihak yang digugat dalam kasus ini. Mereka terdiri dari dua produsen obat, lima supplier obat, BPOM dan Kemenkes. 

"Ada juga satu turut tergugat, ini yang baru ya, turut tergugat ya adalah Kementerian Keuangan karena Kemenkeu ini lah kuasa anggaran untuk BPOM dan Kemenkes jadi kita masukan disitu," kata Awan kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (13/12/2022) lalu. 

Awan menjelaskan, BPOM dan Kemenkes digugat karena sejak September sampai Oktober 2022 kasus gagal ginjal mulai naik. Selama kurun waktu itu banyak jatuh korban.

Pada saat itu, menurutnya, pernyataan BPOM dan Kemenkes justru selalu berubah-ubah. Salah satunya, Awan mencontohkan BPOM tidak punya standar untuk mengecek dan mengetes cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Padahal seharusnya hal itu dimiliki oleh BPOM. Ia menyayangkan tidak panduan khusus bagaimana mengetes cemaran racun EG dan DG di dalam obat.

"Harusnya ada dari awal, harusnya tidak perlu terjadi (kasus gagal ginjal). Kenapa EG dan DG ini yang puluhan tahun ada standarnya itu di Indonesia tidak ada sama sekali, sama sekali nggak ada. Di BPOM nggak ada, di Kemenkes nggak ada," ujar Awan. 

"Karena itulah Kemenkes kita gugat. Karena ada statement-statement yang dengan jelas menyatakan 'kami tidak ada standar, kami tidak ada protokol' dan itu memang tidak ada," ucap Awan. 

Awan mensinyalir BPOM dan Kemenkes abai hingga menimbulkan kasus gagal ginjal akut. "Ya kita melihat abai dan tidak bertanggungjawab, karena kalau tidak abai, kalau ada standar dari awal seharusnya ini tidak perlu terjadi," tegas Awan. 

Awan juga menyinggung sikap Kemenkes yang tak responsif dalam mendukung perawatan dan santunan korban. Ia mengungkapkan ada keluarga korban yang perawatannya tak di-cover oleh Pemerintah. 

"Menteri Kesehatan bilang ini di-cover-di-cover tapi nyatanya di lapangan banyak yang orang tua korban ini betul betul kesulitan," ungkap Awan. 

"Bayangkan, sampai sekarang yang meninggal saja nggak ada loh uang kerohiman nggak ada, ambulans bayar sendiri," sebut Awan. 

Diketahui, gugatan ini ditarik sementara untuk diajukan lagi dengan gugatan baru. Gugatan ini ditujukan kepada sembilan pihak, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, PT Megasetia Agung Kimia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Kesehatan.

Dalam petitumnya, penggugat menyebutkan sejumlah poin. Pertama, mengabulkan gugatan perwakilan kelompok (class action) para penggugat untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan sah dan berharga sita jaminan (Conservatoir Beslag) yang diajukan oleh Para Penggugat atas seluruh kekayaan dari TERGUGAT I, TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI dan TERGUGAT VII baik berupa: Kantor, rumah, tanah, kendaraan bermotor dan sita saham milik TERGUGAT I, TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI dan TERGUGAT VII termasuk saham Perseroan yang daftar hartanya akan diajukan secara tertulis dan agar TERGUGAT I, TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI dan TERGUGAT VII dihukum untuk membayar kerugian yang dialami PARA PENGGUGAT;

"Ketiga, menyatakan PARA TERGUGAT (TERGUGAT I, TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI, TERGUGAT VII, TERGUGAT VIII, dan TERGUGAT IX) telah melakukan perbuatan melawan hukum," tulis petitum penggugat. 

Terakhir, penggugat menginginkan penetapan prosedur pelaksanaan pembagian atau penyerahan ganti rugi kepada Tim Para Penggugat yang terdiri dari kuasa hukum dan wakil kelompok untuk diserahkan kepada masing-masing Penggugat. 

 


Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin pada pertengahan November lalu mengatakan, saat ini kasus gagal ginjal akut pada anak sudah selesai dari sisi Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pasalnya, sudah tidak ada kasus baru lagi sejak pemberhentian konsumsi obat sirop yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen elikol (DEG).

"Kalau ginjal akut, dari sisi Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah selesai. Kenapa? Sejak kita berhentiin obat-obatan tersebut itu turun drastis da sudah tidak ada kasus baru lagi itu, sudah dua setengah minggu. Jadi kita sudah out room," ujar Menkes ditemui di Jakarta, Jumat (18/11/2022).

Budi mengatakan, hingga kini kesimpulan penyebab gangguan ginjal akut adalah cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirop. Sehingga, saat Kemenkes menyetop pemberian dan penggunaan obat sirop tersebut, kasus gagal ginjal akut mengalami tren penurunan.

"Bahwa memang obat-obatan itu adalah penyebab itu adalah penyebab terjadi ginjal akut. Begitu sudah kita setop, sudah enggak kasus baru, ya rumah sakit kita sudah turun terus yang dirawat ginjal akut," ujarnya.

 

Budi juga menekankan, tugas Kemenkes adalah menjaga kesehatan masyarakat, serta melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap dokter dan apotek. Sementara untuk obat-obatan, menurut Budi merupakan wewenang dari BPOM RI.

Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, BPOM tidak pernah melakukan pengujian terhadap kadar eetilen glikol (EG) dan dietilen elikol (DEG) dalam obat-obatan. Sebab, hingga saat ini di dunia internasional belum ada standar untuk pengujian kedua bahan tersebut.

“Khusus untuk cemaran EG dan DEG sampai saat ini di dunia internasional belum ada standar yang untuk mengatakan untuk diuji. Itulah kenapa kita tidak pernah menguji karena memang belum dilakukan di dunia internasional pun,” ujar Penny, pada 25 Oktober 2022.

Karena itu, standar pengujian terhadap kedua kandungan tersebut akan dikembangkan, sehingga menjadi bagian dari sampling rutin BPOM. Penny menjelaskan, BPOM juga melakukan sampling rutin terhadap produk obat-obatan sebelum diedarkan.

Dalam perencanaan pre-market tersebut, maka bahan baku dan kandungan obat-obatan yang akan didaftarkan untuk mendapatkan izin edar harus dilaporkan kepada BPOM.

“Dalam pre-market itu kan ada bahan baku, nah bahan baku itu juga yang kemudian harus dilaporkan pada saat registrasi di mana itu ada kandungan, atau analisis yang harus disampaikan ke BPOM,” jelasnya.

Selain itu, juga ada kewajiban dari para pelaku usaha untuk melakukan pengujian sendiri. BPOM pun akan melakukan evaluasi pada saat pre-market. Namun, BPOM juga melakukan pengawasan dengan sampling dan pengujian terhadap produk yang sudah dipasarkan.

 

Gejala dan Cara Pencegahan Gagal Ginjal Akut pada Anak - (Republika.co.id)

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler