Palestina Tolak Tawaran Benjamin Netanyahu Soal Self-Rule
Israel menawarkan pemerintahan sendiri kepada Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Otoritas Palestina menolak tawaran perdana menteri Israel terpilih, Benjamin Netanyahu, soal self-rule atau pembentukan pemerintahan sendiri tapi tanpa kontrol di bidang keamanan. Palestina menegaskan, bahwa mereka mempunyai hak membentuk negara dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
“Rakyat Palestina memiliki hak untuk mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, yang merupakan dasar untuk mencapai perdamaian yang adil berdasarkan resolusi legitimasi internasional,” kata juru bicara Otoritas Palestina Nabil Abu Rudeineh, Sabtu (16/12), dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA.
Dia menegaskan, tidak akan ada perdamaian dengan kebijakan aneksasi dan apartheid. “Tidak akan ada perdamaian selama agresi Israel terhadap rakyat Palestina terus berlanjut,” ujar Rudeineh.
Dalam sebuah wawancara dengan National Public Radio (NPR) pada Kamis (15/12) lalu, Benjamin Netanyahu menyampaikan bahwa dia akan menawarkan pemerintahan sendiri kepada Palestina. Namun Israel tetap mengontrol sektor keamanan.
"Palestina memiliki semua kekuatan untuk mengatur diri mereka sendiri. Namun tak satu pun dari kekuatan-kekuatan itu yang mengancam kehidupan kami, yang berarti keamanan, dalam pengaturan politik apa pun yang kita miliki, secara realistis harus tetap berada di tangan Israel," kata Netanyahu.
Pada 8 Desember lalu, Benjamin Netanyahu telah meminta perpanjangan waktu selama dua pekan untuk membentuk pemerintahan. Tenggat waktu pembentukan pemerintahan seharusnya berakhir 11 Desember tengah malam.
"Kami berada di tengah-tengah negosiasi dan telah membuat banyak kemajuan. Namun dilihat dari kecepatannya, saya memerlukan perpanjangan hari yang disediakan oleh undang-undang untuk membentuk pemerintahan," kata Netanyahu dalam surat yang dirilis oleh kantornya, 8 Desember lalu, dikutip laman Al Arabiya.
Secara hukum, presiden Israel, yang kini dijabat Isaac Herzog, dapat memberikan perpanjangan waktu hingga 14 hari untuk keperluan negosiasi. Partai Likud yang dipimpin Netanyahu telah menandatangani kesepakatan koalisi dengan tiga partai ekstrem kanan, yakni Religious Zionism, Jewish Power, dan Noam.
Awal bulan ini, Likud mengumumkan kesepakatan dengan partai keempat, yaitu Shas. Tapi kesepakatan dengan Shas dan blok ultra-Ortodoks lainnya, United Torah Judaism, bersifat sementara, bukan kesepakatan koalisi yang mengikat. “Masih ada masalah yang belum terselesaikan terkait alokasi posisi,” tulis Netanyahu dalam suratnya kepada Isaac Herzog, mencatat sifat prematur dari perjanjian Shas dan United Torah Judaism.
Sebelumnya beberapa analis politik memperkirakan Netanyahu tak akan memerlukan waktu lama untuk mengumumkan pemerintahan barunya setelah menerima mandat pembentukan dari presiden. Namun melihat situasi saat ini, pembicaraan koalisi terbukti rumit.
Netanyahu terpaksa memberikan portofolio sensitif kepada tokoh-tokoh kontroversial, termasuk pemimpin ekstremis dari Jewish Power, Itamar Ben Gvir. Tokoh yang dikenal dengan retorika anti-Arab itu akan menjadi menteri keamanan nasional.
Artinya Ben Gvir bakal bertanggung jawab atas polisi perbatasan di Tepi Barat yang diduduki. Penunjukannya sebagai menteri keamanan nasional Israel telah memicu kekhawatiran di antara kalangan masyarakat Palestina.
Sementara itu, alokasi portofolio Netanyahu untuk anggota partainya sendiri juga belum diselesaikan. Komplikasi lainnya adalah bahwa pemimpin partai Shas, Aryeh Deri, telah dihukum karena pelanggaran pajak. Menurut jaksa agung Israel, karena terbelit kasus tersebut, Deri dilarang bertugas di kabinet.
Parlemen Israel, yang kini dikuasai Likud dan koalisinya, mungkin berusaha meloloskan undang-undang yang memungkinkan Deri bertugas di kabinet sebelum memperkuat kesepakatan koalisi. Di bawah perjanjian Shas-Likud sementara, Deri akan menjadi menteri dalam negeri dan menteri kesehatan di pemerintahan Netanyahu berikutnya. Dia pun ditunjuk sebagai wakil perdana menteri.