Sejarawan Sebut tak Ada yang Istimewa dari Permintaan Maaf PM Belanda
Permohonan maaf resmi Belanda datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Anhar Gonggong tak melihat ada yang istimewa dari permintaan maaf Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, atas praktik perbudakan yang dilakukan negaranya selama 250 tahun di banyak negara, termasuk Indonesia. Permintaan maaf itu sebagai suatu hal yang sangat wajar ketika melihat konteks kekinian, di mana penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi bagian dari kehidupan.
"Itu hal yang menurut saya wajar saja dia lakukan karena kesadaran baru yang lahir dari dirinya, dari bangsanya, dan sebagainya. Apalagi dalam konteks sekarang, penghargaan kepada HAM itu sangat menjadi bagian daripada proses diri kita untuk diakui sebagai negara modern yang beradab," ujar Anhar kepada Republika, Selasa (20/12/2022).
Anhar mengatakan, permintaan maaf dikeluarkan setelah melalui berbagai generasi, mulai dari abad ke-15, 16, hingga generasi saat ini. Di mana, pada abad ke-20 dan 21 terlahir kesadaran baru untuk menyatakan tindakan perbudakan tersebut sebagai tindakan yang salah. Dia menyebut Belanda kemungkinan memiliki beban psikologis dan politis dari apa yang pernah mereka lakukan di masa lampau.
"Jadi ada semacam pengakuan kesalahan yang dilakukan oleh karena ada kesadaran baru yang lahir dalam konteks situasi sekarang. Di mana HAM sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Bahwa kita harus menghargai HAM. Setiap manusia dalam dirinya ada haknya. Hak kemanusiaan yang tidak boleh dilanggar," kata dia.
Dia mengatakan, pemerintah Indonesia sebaiknya menerima permintaan maaf tersebut. Sebab, mau menerima ataupun menolak hasil yang didapat akan sama saja.
"Kalau sekadar sebagai basa-basi menurut saya katakan saja, ya sudah terima kasih Anda sudah mengakui kesalahan Anda pada masa lampau," ujar Anhar.
Pada kesempatan itu Anhar juga mengungkapkan, praktik perbudakan masih terjadi di Indonesia pada 1932 di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dia mengaku memiliki gambar seorang wanita yang terlihat payudaranya dan dianggap sebagai budak. Menurut dia perbudakan semacam itu terjadi berpindah-pindah, tidak hanya di satu daerah saja.
"Setelah pindah dari tempat ini, lalu ke tempat ini, dijual lagi, dijual lagi. Nanti, misalnya, dijual sampai di Jakarta, yang beli orang Bugis. Orang Bugisnya kemudian menjual kepada pembeli budak Belanda atau China," tutur dia.
Meski praktik perbudakan sebenarnya sudah dilarang oleh Belanda sejak lama, tapi masih saja terjadi kala itu. Penyebab terjadinya perbudakan itu, kata Anhar, bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh utang, permintaan perlindungan, dan faktor lainnya. Bahkan, ada orang-orang yang memang hidup dari perdagangan budak.
"Jadi itu melingkar memang. Dan itu memang ada kelompok yang menjadikannya sebagai suatu pekerjaan untuk mendapatkan untung," ungkap Anhar.
PM Belanda, Mark Rutte pada Senin (19/12/2022) secara resmi meminta maaf atas 250 tahun keterlibatan Belanda dalam perbudakan. Ia menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Permohonan maaf resmi datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan Belanda terhadap koloni negara Eropa tersebut termasuk Indonesia, Suriname, dan pulau-pulau seperti Curacao dan Aruba di Karibia.
"Hari ini atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu," ujar Rutte dalam pidatonya di Den Haag seperti dikutip laman Channel News Asia, Selasa (20/12/2022).
Ia mengulangi permintaan maaf dalam bahasa Inggris, Papiamento, dan Sranan Tongo, bahasa yang digunakan di kepulauan Karibia dan di Suriname. "Negara Belanda di Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka," kata Rutte kepada audiensi di Arsip Nasional Den Haag.
"Kami, yang hidup di sini dan sekarang, hanya bisa mengakui dan mengutuk perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," ujarnya menambahkan.