Anosmia Sebagian Orang Menetap Setelah Terkena Covid-19, Studi Bongkar Hal Ini

Studi temukan jawaban anosmia sebagian orang menetap setelah terkena Covid-19.

www.freepik.com.
Studi temukan jawaban anosmia sebagian orang menetap setelah terkena Covid-19.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehilangan indra penciuman merupakan salah satu gejala yang bisa dialami pasien Covid-19. Namun pada sebagian orang, kehilangan indra penciuman atau anosmia bisa menetap dalam waktu yang lama meski mereka sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19.

Baca Juga


Sebuah studi terbaru dalam jurnal Science Translational Medicine memiliki jawaban atas perbedaan tersebut. Melalui studi ini, tim peneliti menganalisis sampel dari 24 orang partisipan.

Seluruh partisipan dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan keluhan pada indra penciuman mereka. Ketiganya adalah kelompok orang yang mengalami kehilangan indra penciuman berkepanjangan setelah sembuh dari Covid-19, kelompok orang yang pernah kehilangan indra penciuman saat terkena Covid-19 namun penciumannya sudah kembali normal, serta kelompok orang yang tak pernah terkena Covid-19 dan memiliki indra penciuman normal.

Hasil studi menunjukkan, respons imun tubuh pada sebagian orang yang pernah terkena Covid-19 menjadi tak teratur. Ketidakteraturan ini bahkan terus terlihat meski virus SARS-CoV-2 dalam tubuh mereka tak lagi terdeteksi melalui tes laboratorium.

Tim peneliti juga menemukan, Covid-19 bisa menyebabkan peradangan yang merusak dan berkepanjangan pada sel-sel saraf di hidung mereka. Sel-sel saraf yang terdampak adalah sel-sel yang berperan dalam penciuman.

"(Peradangan yang terjadi) hampir mirip seperti proses autoimun di hidung," jelas peneliti Bradley Goldstein MD PhD dari Duke University of Medicine, seperti dilansir WebMD, Jumat (23/12/2022).

Goldstein berharap temuan ini bisa dimanfaatkan para ilmuwan untuk mengembangkan pengobatan yang bisa membantu para pasien Covid-19 mendapatkan kembali indra penciuman mereka, meski hanya sebagian. Goldstein mengatakan, laboratoriumnya di Duke University of Medicine juga siap membantu mengembangkan pengobatan tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler