Selamat Jalan Babeh Ridwan Saidi : Bikin Tulisan Itu Harus yang Nendang!
Mengenang penulis dan pemikir Ridwan Saidi
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR M Alfan Alfian, akademisi dan aktivis KAHMI.
Ridwan Saidi. Nama ini sudah begitu familiar bagi saya sejak SD, jauh sebelum zaman ILC Karni Ilyas, ketika setelah bisa membaca saya gemar mengintip majalah langganan bapak saya, di suatu desa pedalaman Jawa, Panji Masyarakat.
Pertama kali yg menarik bagi anak anak seperti saya ketika itu ialah halaman lembar anak anak apalagi kalau ada cerita Abunawas yg lucu lucu atau komik petualangan Ibnu Salwa.
Tapi sekitar kelas enam SD, mata saya mulai menjelajah tulisan tulisan lain: kolom kolom yg ternyata isinya bagus bagus. Selain kolom tetap HAMKA “Dari Hati ke Hati” sy baca juga nyaris semua kolom yg ada dari kolomnya Fachry Ali, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Ayib Bakar, dan tentu juga kolomnya Ridwan Saidi; juga merambah pula ke artikel artikel serius seperti tulisan Ahmad Mansur Suryanegara, Dawam Rahardjo, juga Nurcholish Madjid.
Beberapa judul kolom yg masih saya ingat ialah yg ditulis secara bersambung oleh Emha Ainun Nadjib “Mereka Mencari Rumus Tuhan”, kolom Emha lain “O, Khatibku” kritiknya terhadap para Khatib yang setiap Jumat nyaris saya ingat kolom ini.
Ahmad Tohari menulis kolom “Mencukur Kumis” pada era ketika kejahatan disorot, bahwa kejahatan itu seperti kumis, kalau tidak rajin dicukur, pasti tambah lebat, menjadi jadi.
Ketika SMP, membaca kolom-kolom Panji Masyarakat terus berlanjut dan seterusnya hingga majalah ini tutup. Ketika mahasiswa bahkan saya juga menulis di majalah ini beberapa edisi, yang ketika saya hijrah ke Jakarta sebaga pengurus PB HMI saya datangi kantor redaksinya, cari bendaharanya, mints honor honor saya dibayarkan. Untung waktu itu redaksi belum tutup.
Kolom kolom Ridwan Saidi khas dari segi pilihan tema, dan punya daya tonjok tersendiri. Saya menempatkannya pada ranking papan atas yang harus baca.
Belakangan setelah saya baca juga kolom kolom Mahbub Djunaidi di majalah Tempo dan kolom asal usul Kompas minggu, dan setelah tahu keduanya sama sama orang Betawi, saya baru paham mengapa kolom kolom mereka renyah dan jenaka.
Misalnya kolom Ridwan Saidi “Menu Imam Bayildi dan Mesjid Norwich” (Panji Masyarakat, September 1990), dari ujung kalimat pembukanya saja sudah jenaka: “Nikita Siberoff, warga Prancis berdarah Rusia, termasuk orang yang paling mengetahui seluk-beluk kota Paris. Sebagai peneliti, ia pernah bertahun-tahun bermukim di pedalaman Kalimantan menyelidiki musik tradisional setempat. Nikita dengan gesit menunjukkan restoran-restoran “unik” di Paris. Mulai dari restoran Charter di Montmartre sampai Cayda Cira di Rue FG Saint Denis. Chartier “unik” karena telah berdiri sejak 1986. Keaslian pelayanan dipelihara sampai sekarang. Di restoran ini masih terdapat laci-laci bernomor tempat menyimpan serbet. Agaknya restoran ini dulu tempat para birokrat bersantap, kini turis belaka yang memadatinya….”
Pada suatu hari di awal Reformasi, ketika Bang Ridwan Saidi punya kolom di Suara Pembaruan, tanpa sengaja saya berpapasan dengannya di kantor redaksi koran itu. Saya kebetulan mau mengecek honornya sudah bisa diambil belum atas artikel sebelumnya. Bang Ridwan katanya mau setor naskah. Dan yg membuat saya kaget, saya lihat Bang Ridwan tadi turun dari angkot. Padahal saya juga tadi naik angkot. Penulis besar, kolomnis agung itu, naik angkot juga.
Dan hari hari setelah sy tahu beliau, kesimpulannya : betapa sederhananya orang ini, betapa entengnya berbagi gagasan dan pengalaman hingga yang lucu lucu. Kalau sudah tertawa lepas tampak Bang Ridwan gembira sekali.
Nasihat yang saya ingat dari Bang Ridwan soal tulis menulis: “Bikin tulisan itu harus yg nendang, kalau kagak, siapa yg mau baca?” katanya meneruskan pesan Buya HAMKA ketika masih di Panji Masyarakat.
Bang Ridwan Saidi wafat. Innalilahi wa inna ilaihi Rojiun, lahul Fatihah, semoga Husnul khotimah.