Beras Sumbang Inflasi Tertinggi di Bali
Faktor inflasi yang diakibatkan kenaikan harga adalah hari raya dan tahun baru.
REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Hanif Yahya menyampaikan data perkembangan inflasi gabungan Denpasar dan Singaraja pada Desember 2022. BPS Bali mengatakan, beras menjadi komoditas penyumbang inflasi tertinggi.
"Komoditas penyumbang inflasi berasal dari beras pada Desember, ini menunjukkan kenaikan indeks harga konsumen. Tentunya ada konsumsi yang agak berlebih dengan adanya kenaikan harga beras," kata Hanif di Denpasar, Senin (2/1/2023).
Ia memaparkan, data pada kategori makanan, minuman, dan tembakau, di mana seluruh subkelompok tercatat mengalami inflasi seperti subkelompok I makanan yaitu 1,67 persen dengan andil inflasi 0,351 persen dan komoditas utamanya beras sebesar 0,112 persen sekaligus menjadi yang tertinggi. Komoditas selanjutnya adalah cabai rawit dengan andil inflasi sebesar 0,070 persen dan tomat sebesar 0,055 persen.
Sementara itu, di luar kategori makanan, minuman, dan tembakau, komoditas emas perhiasan menyusul di 0,036 persen dan telur ayam ras sebesar 0,032 persen.
Hanif menjelaskan, beberapa faktor inflasi yang diakibatkan kenaikan harga pada komoditas tersebut adalah perayaan hari raya dan tahun baru. Karena itu, diperlukan antisipasi mengingat awal Januari 2023 masyarakat Hindu di Bali akan melaksanakan Hari Raya Galungan dan Kuningan.
"Potensi (peningkatan inflasi-Red) pasti ada. Kita sudah mengantisipasi, jadi tim pengendali daerah sudah mengantisipasi dari beberapa bulan sebelumnya untuk periode-periode perayaan hari raya, kita harus antisipasi sekarang," ujar Hanif.
Ia menambahkan, besar potensi terjadi peningkatan konsumsi masyarakat pada saat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Sehingga tim pengendali inflasi harus memantau sejumlah komoditas yang paling diperlukan masyarakat.
Terkait inflasi, BPS Bali sendiri mencatat inflasi gabungan untuk Bali dari Denpasar dan Singaraja mencapai 6,20 persen pada Desember 2022. "Kalau kita perhatikan itu sudah menunjukkan adanya tren penurunan dari inflasi gabungan sejak Oktober 2022 secara year on year, tapi kalau kita lihat secara month to month menunjukkan perkembangan inflasi yang cukup terkendali," kata Hanif.
Ia menambahkan, dibandingkan 2021, angka inflasi gabungan cukup lebar, di mana pada Desember 2021 berada di angka 2,07 persen sementara saat ini 6,20 persen. Hanif menyebut kondisi tersebut lantaran pada 2021 indeks konsumen rendah akibat pandemi Covid-19, sehingga pada 2022 melaju kencang meskipun tiga bulan terakhir kembali terkendali.
Hanif mengaku, tim sudah melakukan pengendalian inflasi seperti pasar murah, subsidi terhadap pedagang maupun terhadap distribusi saat kenaikan harga BBM. "Itu barangkali perlu dilanjutkan agar tingkat harga beberapa komoditas yang fluktuatif bisa ditekan dan tidak menyebabkan inflasi yang berikutnya," ujar Hanif.