Ditemukan, Cinta dalam Biara

Jatuh cinta antara biarawan dan biarawati adalah hal tabu.

EPA/OLIVER BERG
Ordo Karmelit, sebuah ordo kuno gereja Katolik Roma. Suster Mary Elizabeth jatuh cinta dan menikah dengan seorang biarawan yang memaksanya meninggalkan gereja.
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sejak usia 19 tahun, Lisa Tinkler, perempuan asal Middlesbrough, Inggris, sudah memutuskan untuk menjadi biarawati. Sedari belia, dia telah mengagumi dan menyanjung sosok Maria, ibu Yesus Kristus. Hingga akhirnya muncul semacam panggilan dalam dirinya untuk mengabdi sebagai seorang biarawati.

Baca Juga


Tinkler bergabung dengan ordo Karmelit, sebuah ordo kuno gereja Katolik Roma. Dia kemudian menyandang nama Suster Mary Elizabeth. Menjadi seorang abdi agama dengan mematuhi segala peraturan dan tradisinya, termasuk tak diperkenankan menikah, tentu bukan jalan mudah untuk ditapaki. Kendati demikian, cinta Elizabeth kepada sosok Maria telah meneguhkan hati dan keputusannya.

Namun kehidupan Elizabeth berubah setelah bertemu biarawan bernama Robert. Mendadak dia merasakan desir hasrat, sebuah hal tabu dalam kehidupan seorang biarawati. Elizabeth tak bisa menampik degup gugup di dadanya ketika berhadap-hadapan dengan Robert. Pertanyaan-pertanyaan mulai berjejalan di kepalanya. Apakah ini cinta? Apakah Robert juga merasakan hal serupa? Takdir pada akhirnya mempersatukan mereka sebagai sepasang suami-istri.

Elizabeth dan Robert pertama kali bertemu di ruang tamu biara di Preston, Lancashire. Robert tengah berkunjung dari biaranya yang berada di Oxford. Pemimpin ordo kemudian mengenalkan Elizabeth kepada Robert. Kala itu, pemimpin ordo tiba-tiba harus menerima telepon. Dia akhirnya meninggalkan Elizabeth dan Robert berdua di ruangan.

"Ini adalah pertama kalinya kami berada di satu ruangan bersama. Kami duduk di meja saat dia (Robert) makan, dan kepala biara tidak kembali jadi saya harus membiarkannya keluar," kata Elizabeth saat diwawancara BBC, Senin (2/1/2022).

Meski baru pertama kali bertemu Robert, Elizabeth seolah sudah merasakan sebuah ikatan yang kuat. “Saya hanya merasakan chemistry di sana, sesuatu, dan saya agak malu. Saya pikir, astaga apakah dia juga merasakannya. Dan ketika saya mengantarnya keluar menuju pintu, itu cukup canggung,” ucap Elizabeth.

Tak butuh waktu lama bagi Elizabeth untuk bisa menyisihkan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di hatinya setelah bertemu Robert. Berselang sekitar sepekan kemudian, dia tiba-tiba menerima pesan dari Robert. Dalam pesannya, Robert bertanya kepada Elizabeth apakah dia mau menikah dengannya.

"Saya sedikit terkejut. Saya memakai cadar sehingga dia bahkan tidak pernah melihat warna rambut saya. Dia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang saya, tidak tahu apa-apa tentang asuhan saya. Dia bahkan tidak tahu nama duniawi saya," kenang Elizabeth.

 

Kala itu, Elizabeth tak langsung memberikan jawaban kepada Robert atas pinangannya. Elizabeth tidak tahu harus berbuat apa. Pada kunjungannya dari Oxford ke pusat retret Karmelit di Preston, Robert kadang-kadang datang untuk mengadakan misa di biara terdekat. Elizabeth pun menyaksikan khotbahnya dari balik kisi-kisi.

Melalui anekdot-anekdot yang dilontarkan Robert dalam khotbahnya, Elizabeth, sedikit demi sedikit, mulai mengetahui kehidupan biarawan tersebut. Misalnya, bahwa Robert tumbuh di Silesia, Polandia, yang berdekatan dengan perbatasan Jerman. Elizabeth pun mengetahui kecintaan Robert pada gunung.

Meskipun telah memperoleh informasi-informasi demikian, Elizabeth tak merasa hal itu tak berdampak besar padanya. Namun perubahan hanya persoalan waktu. "Saya tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dan saya pikir para suster bisa melihatnya di wajah saya. Jadi saya menjadi sangat gugup. Saya bisa merasakan perubahan dalam diri saya dan itu membuat saya takut," katanya.

Elizabeth akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan kepada pemimpin ordo bahwa dia tampaknya memiliki perasaan terhadap Robert. Namun tanggapan yang Elizabeth peroleh adalah ketidakpercayaan. 

"Dia tidak mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi karena kami berada di sana 24 jam selama sepekan di bawah pengawasannya sepanjang waktu. Kepala biarawati bertanya bagaimana saya bisa jatuh cinta dengan begitu sedikit kontak," ucapnya.

Elizabeth membayangkan reaksi keluarganya atau uskupnya jika dia hengkang. Dia juga bergumul tentang apakah hubungannya dengan Tuhan akan berubah. Tetapi interaksi dengan pemimpin ordo mendorongnya untuk pergi. "Pemimpin ordo sedikit marah dengan saya, jadi saya memasukkan celana dan sikat gigi ke dalam tas dan saya berjalan keluar. Saya tidak pernah kembali sebagai Suster Mary Elizabeth," tutur Elizabeth.

Momen Elizabeth hengkang dari ordo Karmelit di Preston terjadi pada November 2015. Pada momen itu, Robert telah mengirim pesan pada Elizabeth. Robert menyampaikan kepada Elizabeth bahwa dia berencana mengunjungi Preston lagi. Robert hendak bertemu temannya yang juga tergabung dengan ordo Karmelit untuk menceritakan situasi yang dihadapinya bersama Elizabeth.

Elizabeth menduga mereka akan bertemu di Black Bull, sekitar satu mil jauhnya. Jadi Elizabeth memutuskan pergi ke sana. Suasana hati Elizabeth sangat kacau kala itu. "Hujan deras turun saat saya berjalan di sepanjang jalan Garstang. Lalu lintas datang ke arah saya dengan lampu depan yang terang dan saya hanya berpikir 'Saya bisa menyelesaikan ini,'" katanya, merujuk pada pikiran untuk bunuh diri sesaat.

 

"Saya benar-benar berjuang, saya pikir saya harus menghentikan ini terjadi dan Robert dapat melanjutkan hidupnya. Tetapi saya juga bertanya-tanya apakah dia benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan tentang menikah,” tutur Elizabeth.

Namun Elizabeth terus berjalan dan tiba di Black Bull dengan semua pakaian dan mantelnya basah kuyup. Dia baru berani masuk ketika melihat Robert. “Ketika saya melihatnya, jantung saya berhenti," kata Robert.

"Tapi sebenarnya saya dilumpuhkan oleh rasa takut bukan oleh kegembiraan, karena saya tahu pada saat itu bahwa saya harus sepenuhnya untuk Lisa, tetapi saya juga tahu kami belum siap untuk itu," ucap Robert.

Robert telah menjadi biarawan Karmelit selama 13 tahun pada saat itu. Dia adalah seorang pemikir, akademisi, dan teolog yang datang ke kehidupan monastik untuk mencari makna selama apa yang dia gambarkan sebagai krisis iman dan identitas.

Robert menjelaskan bahwa pesannya kepada Elizabeth yang menanyakan apakah mereka bisa menikah hampir merupakan pergumulan intelektual dengan dirinya sendiri. "Ketika dia (Elizabeth) muncul di pub, setan kecil dalam diri saya ketakutan. Tapi ketakutan saya bukan soal agama atau spiritual, itu murni tentang bagaimana saya akan memulai hidup baru di usia 53 tahun," katanya.

Transisi itu sulit, terutama di awal. Elizabeth ingat sesaat sebelum Natal, segera setelah mereka berdua meninggalkan kehidupan monastik. "Saya melihat Robert, dan dia tertekan dan menangis. Pada saat itu kami berdua mencapai titik terendah dan rasanya kami harus mengambil sesuatu seperti Romeo dan Juliet dan mengakhirinya," ujar Elizabeth.

"Itu sangat sulit karena dia merasa sangat kesepian dan terisolasi dan tidak tahu jalan ke depan. Tapi kami hanya berpegangan tangan dan kami berhasil melewatinya," kata Elizabeth menambahkan.

Apa yang memberi Robert dan Elizabeth kedamaian adalah hal yang pertama-tama menuntun mereka ke monastisisme, berhubungan dengan keyakinan pribadi mereka. "Sepanjang kehidupan religius Anda, Anda diberi tahu bahwa hati Anda seharusnya tidak terbagi dan diberikan kepada Tuhan. Tiba-tiba saya merasa hati saya membesar untuk memeluk Robert, tetapi saya menyadari itu juga menampung semua yang saya miliki. Dan saya tidak melakukannya. Saya tidak merasa berbeda tentang Tuhan, dan itu meyakinkan saya," tutur Elizabeth.

 

Elizabeth dan Robert akhirnya menikah. Sekarang mereka tinggal di desa Hutton Rudby di North Yorkshire. Di sana Robert diangkat menjadi vikaris gereja lokal. Mereka masih dalam perjalanan menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar biara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler