LSF Buka Suara Terkait Adegan Lesbian di Film Puisi Cinta yang Membunuh
Menurut LSF, film ini tidak menghadirkan adegan LGBTQ yang vulgar dan eksploitatif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Sensor Film (LSF) memberikan tanggapan mengenai karakter dan adegan lesbian di film horor thriller terbaru garapan sutradara Garin Nugroho. Sinema berjudul Puisi Cinta yang Membunuh tersebut sedang tayang di bioskop Indonesia.
Film menyoroti kisah tokoh utama bernama Ranum (Mawar Eva de Jongh). Ranum selalu terperangkap kata-kata indah dan puitis dari laki-laki yang kemudian mengkhianatinya, namun semua itu kerap berakhir dengan kematian para lelaki secara misterius.
Dalam film ini, hadir karakter pendukung perempuan bernama Deren (Kelly Tandiono). Pengadeganan menampilkan Deren berinteraksi sedemikian rupa dengan seorang perempuan, yang menunjukkan keduanya merupakan lesbian. Kisah Deren pun terkait dengan Ranum, namun Ranum bukan seorang lesbian.
Penonton perlu menyimak dulu filmnya untuk mengetahui kelanjutan cerita serta penyelesaian konflik antara Deren dan Ranum. Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, memberikan tanggapannya mengenai hadirnya tokoh dan adegan LGBT di film itu.
"Pertama, yang harus dipahami, itu adegan minor, tapi ada konteksnya. Artinya, nyambung dengan alur cerita. Kedua, adegan tidak vulgar dan bukan jenis adegan ranjang yang sangat terbuka," kata Rommy saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (5/1/2023).
Rommy berpendapat tokoh dan adegan yang ada bukan promosi tentang elemen lesbian, gay, biseksual, transgender, queer (LGBTQ). Justru, LSF menilai penyelesaian konflik cerita antara Deren dan Ranum memberi kesan bahwa suatu bentuk yang dianggap tidak baik, seperti LGBTQ, haruslah "dibunuh".
Rommy menilai, dari segi visual, film yang mendapat label usia 17 tahun ke atas itu tidak menghadirkan adegan LGBTQ yang vulgar dan eksploitatif seperti adegan ranjang atau adegan panas. Garin Nugroho sang sutradara disebutnya menyajikan adegan dalam siluet.
Menurut Rommy, apabila adegan tersebut dihilangkan justru membuat alur cerita tidak terkoneksi dengan baik. "LSF ketika menyensor suatu film melihat konteks film secara keseluruhan, secara utuh," kata peraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dengan spesialisasi Corporate Communications itu.