Konten Pengemis Online Kian Populer, Sosiolog: Model Baru Eksploitasi Kemiskinan

Pengguna TikTok melakukan aneka cara untuk mendapatkan gift yang dapat diuangkan.

Dok TikTok TM Mud Bath
Akun TikTok TM Mud Bath mendulang gift dengan memperlihatkan ibu yang telah berumur mandi di air keruh.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena mengemis online dengan cara siaran live di aplikasi TikTok belakangan ini telah memicu kontroversi. Pasalnya, demi mendapatkan rupiah dari fitur gift, para kreator pengemis online bahkan rela melakukan cara tak lazim.

Akun TikTok TM Mud Bath, contohnya, memperlihatkan seorang ibu berusia lanjut mengguyur tubuh dengan air dari kotor. Akun yang dikelola sang anak itu disebut hanya untuk seru-seruan dan hiburan, namun mereka menerima gift TikTok yang kemudian dapat diuangkan.

Di luar negeri, kasus mengemis lewat TikTok juga sempat mencuat pada Oktober 2022 lalu. Hasil investigasi BBC News menemukan ratusan akun menayangkan anak-anak dari kamp-kamp pengungsi Suriah meminta sumbangan.

Aturan TikTok mengatakan pengguna tidak boleh meminta-minta sumbangan atau hadiah secara langsung. Ini penting untuk mencegah bahaya atau eksploitasi anak di bawah umur di platform.

Beberapa akun peminta-minta tersebut menerima sumbangan hingga 1.000 dolar AS per jam atau sekitar Rp 15 juta. Namun, ketika mereka mencairkan uangnya, TikTok dikabarkan mengutip hingga 70 persen.

"Mendatang, hanya orang dewasa yang dapat mengirim hadiah virtual atau mengakses fitur monetisasi," kata TikTok merespons fenomena itu.

Baca Juga



Mengapa konten mengemis secara online kemudian menjadi tren di Indonesia? Sosiolog dari Universitas Airlangga, Tuti Budirahayu, menjelaskan bahwa pengemis online merupakan model pengemasan baru dari eksploitasi kemiskinan. Pada dasarnya, kata dia, konten-konten seperti itu memang bisa menarik rasa iba dari warganet hingga akhirnya mau menyumbang.

"Tapi mungkin ada juga yang berderma karena konten tersebut dianggap sebagai model permainan, seperti permainan game online," kata Tuti saat dihubungi Republika.co.id, Senin (9/1/2023).

Lebih lanjut, Tuti menilai bahwa memberikan sumbangan kepada kreator "pengemis online" tidak akan bisa mengentaskan kemiskinan di Indonesia.Sumbangan itu bisa saja jatuh kepada orang-orang yang hanya memanfaatkan kesempatan dan uangnya cenderung dipakai untuk konsumsi.

"Ya pada akhirnya uang sumbangan yang diberikan ke pengemis online itu bisa habis begitu saja," jelas Tuti.

Menurut Tuti, memberikan sumbangan kepada kreator mengemis online juga hanya akan memperbanyak kreator-kreator sejenis yang mengeksploitasi kemiskinan. Sebaiknya, jika memang ingin memberikan sumbangan, Tuti menyarankan untuk menyalurkannya kepada lembaga amil zakat yang sudah terpercaya.

"Cara yang lebih baik adalah dengan menggunakan amil zakat yang terstruktur atau terorganisir, karena itu dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki sistem pemantauan dan pembinaan yang baik kepada para fakir miskin," kata Tuti.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler