Kisah para Wanita Bekerja di Zaman Nabi Muhammad dan Aturan Bagi Muslimah Bekerja
Umat Islam diajarkan untuk bekerja untuk mencapai ridha Allah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wanita dalam Islam dimuliakan dan diberi kedudukan tinggi dalam perannya di masyarakat sebagaimana tercatat dalam sejarah. Perannya saat menjadi ibu juga diakui sebagai madrosatul ula atau pemberi pengajaran dan pendidikan utama bagi anak.
Namun, peran wanita saat ini semakin luas dengan banyaknya wanita karier atau beraktivitas di luar rumah. Bagaimana Islam melihat kondisi ini? Bagaimana aturan wanita bekerja atau berkarier? Lalu seperti apa wanita yang bekerja pada masa Nabi dan generasi awal Islam?
Profesor Fikih Perbandingan di Universitas Al-Azhar Abdel-Fattah Idrees mengatakan umat Islam diajarkan untuk bekerja, beramal atau bergerak dengan sebaik-baiknya untuk nantinya dilihat oleh Allah SWT. Muslim dituntut berlomba-lomba mengerjakan kebaikan untuk mencapai ridha-Nya.
Allah SWT berfirman:
وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At Taubah: 105).
Dilansir dari About Islam, Syekh Idrees menyebut Islam tidak pernah melarang wanita untuk bekerja di dalam atau di luar rumah. Sebagai gambaran, istri-istri Rasulullah SAW biasa bekerja di rumah. Misalnya, mereka biasa mewarnai pakaian dan kulit di samping pekerjaan rumah tangga lainnya, seperti menyiapkan makanan, membersihkan rumah, serta melayani dan merawat Nabi Muhammad.
Contoh lain dari pekerjaan wanita adalah istri Nabi Aisyah biasa menyiapkan jamu yang diresepkan oleh tabibnya. Dia juga biasa memberikannya sendiri kepada Rasulullah dan merawatnya, selain pekerjaan rumah tangganya.
Selain itu, istri-istri para Sahabat Nabi biasa melakukan pekerjaan rumah tangga dan sejenisnya. Misalnya, Fatimah (putri Nabi) biasa menjalankan quern (penggilingan biji-bijian) sendiri sampai tangannya bengkak, dan Nabi Muhammad tidak melarang hal itu.
Contoh lain adalah Asma binti Abi Bakr, istri Az-Zubayr ibn Al-Awwam, dulu bekerja keras di dalam dan di luar rumahnya. Dia biasa memberi makan unta dan kuda serta merawat suami dan anak-anaknya.
Asma juga biasa berjalan kaki untuk mengambil pakan ternak dari tanah suaminya yang berjarak tiga kilometer dari Madinah. Nabi SAW pernah melihatnya dalam perjalanan dan beliau tidak menunjukkan ketidaksetujuan.
Dengan kata lain, Syekh Idrees menyimpulkan, wanita pergi bekerja tidak dilarang dalam Islam, karena beberapa wanita pernah bekerja di masa hidup Nabi dan beliau tidak menentang mereka. Di antara para wanita itu adalah Ummu Attiyah, yang biasa melakukan khitan bagi wanita, memandikan dan mengkafani para wanita Madinah yang telah meninggal, dan merawat serta merawat para prajurit Muslim yang terluka di medan perang, selain menyiapkan makanan untuk para prajurit lainnya.
Contoh lain dari wanita yang bekerja seperti itu adalah Rufaydah Al-Aslamiyyah, dokter wanita pertama dalam Islam. Untuknya Nabi menetapkan sebuah tenda di masjidnya di Madinah untuk merawat dan merawat prajurit Muslim yang terluka dalam Pertempuran Khandaq.
Ar-Rabaiyyi' binti Mu'awwidh dan Ummu Sulaim biasa berangkat bersama Nabi dalam berbagai pertempurannya untuk menyediakan air bagi para pejuang Muslim, menyerahkan senjata kepada mereka, menyiapkan makanan untuk mereka, merawat yang terluka, dan membawa para syuhada ke tempat pemakaman.
Selain itu, Ash-Shifa bint Abdullah biasa keluar untuk mengajar para wanita Muslim membaca dan menulis dan mempraktikkan kedokteran selama masa Rasulullah. Ummu Mihjan juga biasa membersihkan Masjid Nabawi.
Lalu, ketika Nabi mengetahui ketidakhadirannya dan para sahabatnya mengatakan kepadanya bahwa dia telah meninggal dan telah dimakamkan (karena mereka tidak ingin mengganggu tidur Nabi ketika dia meninggal), Nabi pergi ke kuburannya dan medoakannya.
Satu contoh lagi adalah Khalifah Umar bin Al-Khattab mengangkat seorang wanita bernama Ash-Shifa untuk menduduki jabatan yang disebut al-hisbah atau pengawas pasar yang melihat timbangan itu adil dan akurat dan transaksi dilakukan sesuai dengan hukum Islam.
Semua contoh ini dan banyak lainnya, kata Syekh Idrees menunjukkan Islam tidak pernah melarang seorang wanita untuk bekerja, baik dia sudah menikah atau belum. Namun, Islam telah menetapkan beberapa peraturan untuk melindungi perempuan pekerja, menjamin keselamatan mereka, dan mencegah konsekuensi buruk yang mungkin terjadi.
Adapun di antara peraturan wanita bekerja dalam Islam adalah sebagai berikut.
Menutup aurat
Seorang wanita harus mengenakan jilbab dan menutupi dirinya dengan pakaian longgar. Dia tidak boleh keluar dengan pakaian ketat atau tembus pandang. Dengan kata lain, dia harus menghindari mengenakan apa pun yang dapat menarik laki-laki secara seksual, dia juga tidak boleh pergi keluar memakai make-up atau parfum atau membuka auratnya (bagian yang harus ditutup).
Menundukkan pandangan
Seorang wanita tidak boleh menjadi sumber godaan saat pergi bekerja, juga tidak boleh bergaul dengan pria yang sah untuk dinikahinya. Dia juga harus menghindari pertemuan laki-laki, seperti saat memasuki atau meninggalkan tempat kerja atau naik bus ke atau dari tempat kerja, dan tidak boleh berjalan dengan gaya berjalan erotis yang berayun.
Pekerjaan yang tidak menentang syariat dan mendapat izin wali
Seorang wanita harus terlibat dalam jenis pekerjaan yang sesuai dengan sifat fisiologisnya, dan harus mendapatkan izin dari wali atau suaminya yang sah untuk bekerja di luar rumah.
Tidak melalaikan kewajiban kepada suami dan anak
Selain itu, seorang perempuan harus memastikan pekerjaannya tidak akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak suami atau anak-anaknya jika ia menikah.
Dengan mengetahui dan menerapkan rambu-rambu ini, kehidupan keluarga dapat berjalan dengan lancar, dan wanita dapat memainkan peran mendasarnya sebagai anggota masyarakat Muslim yang aktif dan efektif tanpa mengabaikan perannya dalam membangun keluarga yang baik. Inilah pilar masyarakat Muslim.