Rawan, Kompetensi Petugas Pemilu
Perlu ditingkatkan kompetensi petugas pemilu. Baik kompetensi logistik pemilu, sistem informasi pemilu, sistem pengawasan dan pencegahan fraud atau kecurangan, hingga pilihan teknologi pemilu yang sesuai perkembangan zaman.
RETIZEN.REPUBLIKA.CO.ID, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah melakukan rekrutmen penyelenggara pemilu di tingkat daerah, mulai dari provinsi, kabupaten/kota, hingga badan ad hoc penyelenggara pemilu.
Pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 yang memakan anggaran besar dan menyita tenaga bangsa yang amat besar telah mempertontonkan sederet masalah yang memilukan. Pengalaman pahit tersebut tidak boleh terulang lagi. Berbagai masalah mencuat dalam tahapan Pemilu 2019. Semua masalah itu berakar dari tingkat kompetensi petugas pemilu yang masih kurang.
Pemilu Serentak 2024 mendatang akan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan Pemilu 2019 lalu. Situasi ini tidak terlepas dari tidak berubahnya desain pemilu serentak lima surat suara dan pada tahun yang sama akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota.
Untuk mencegah kerawanan dalam Pemilu 2024, Petugas pemilu dari tingkat Komisioner KPU dan Bawaslu, hingga petugas di lapangan perlu ditingkatkan kompetensinya. Baik kompetensi logistik pemilu, sistem informasi pemilu, sistem pengawasan dan pencegahan fraud atau kecurangan, hingga pilihan teknologi pemilu yang sesuai perkembangan zaman serta mampu membuat proses demokrasi menjadi efektif dan jurdil.
Keniscayaan, kompetensi pemilu dan program pendemokrasian seluruh aspek kegiatan bangsa kini menjadi salah satu program studi dan jenis profesi yang penting. Kompetensi pemilu menjadi PR penting bagi bangsa Indonesia.
Pengalaman Pemilu 2019 menunjukkan sejumlah persoalan terkait kualitas proses seleksi yang berujung pada munculnya ketidakpuasan publik dan laporan pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Buku laporan kinerja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) mencatat sebanyak 34 persen dari 157 jumlah pengaduan adalah terkait rekrutmen jajaran KPU pada tahapan Pemilu 2019. Pada tahun 2020, DKPP RI juga menerima 415 aduan yang melibatkan 698 penyelenggara pemilu tingkat daerah, dengan rincian 334 teradu dari KPU kabupaten/kota dan 229 teradu dari Bawaslu kabupaten/kota.
Kompetensi petugas pemilu sangat tergantung kepada teknologi pemilu yang terus berkembang. Pemilu elektronik sekalipun juga belum sempurna seratus persen. Amerika Serikat yang menjadi kiblat demokrasi pernah mengalami krisis teknologi pemilu serta terjadinya election fraud yang memerlukan effort sangat besar untuk mengatasinya.
Krisis election yang pernah terjadi di AS diselesaikan dengan melibatkan perguruan tinggi serta badan riset terkemuka. Untuk memecahkan masalah teknologi pemilu di AS dibentuklah Voting Technology Project (VTP) yang dikoordinasi oleh pakar dari California Institute of Technology (Caltech) dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Perkembangan teknologi pemilu elektronik pada saat ini cenderung menyempurnakan e-Voting karena ada problem kepercayaan publik terhadap teknologi itu. Saat ini sistem pemilu yang bersifat e-Counting lebih bisa diterima. Pemungutan suara di negara maju seperti di Amerika Serikat sekitar 70 persen negara bagian memakai e-Counting. Begitu pula negara berkembang seperti Philipina yang sejak 2015 sudah 100 persen memakai e-Counting.
Transformasi pemilu di tanah air menuntut Komisioner KPU harus mampu membangun sistem yang mendukung implementasi tata kelola kepemiluan yang baik bercirikan jujur, adil, transparan dan profesional. Integritas penyelenggara pemilu perlu diwujudkan dengan baik. Jika integritas itu hancur bisa menyebabkan krisis kebangsaan bahkan bisa menyebabkan chaos. Itu bisa dijalankan efektif apabila memanfaatkan teknologi pemilu secara tepat untuk pelaksanaan setiap tahapan pemilu. Mulai dari pendataan pemilih hingga penghitungan suara dan penetapan calon terpilih.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 yang telah menelan banyak korban jiwa hendaknya dievaluasi secara mendalam. Tatakelola demokratisasi selain membutuhkan manajemen logistik yang baik juga memerlukan terobosan teknologi.Terobosan itu akan membuat pelaksanaan pemilu lebih efektif. Pada dasarnya pelaksanaan pemilu terdiri dari tiga proses yakni registrasi pemilih, proses pemilihan dan proses perhitungan suara. Kunci kesuksesan penyelenggaraan pemilu adalah proses pemilihan (vote) oleh pemilih itu sendiri.
Pada prinsipnya hingga kini ada tiga metode pemilihan, dimulai dari yang paling sederhana atau primitif yakni dicoblos atau dicontreng. Kemudian dengan metode offline EVM (Electronics Voting Machines) seperti di India dan metode online EVM seperti di Amerika Serikat. Dengan EVM, rantai penghitungan suara bisa dipangkas secara signifikan. Penghitungan suara tidak perlu dilakukan di tiap TPS, begitu pula tidak perlu ada penghitungan di PPK. (*)