Presiden Jokowi Sebut Ada 12 Pelanggaran HAM Berat pada Masa Lalu

Peristiwa 1965-1966, petrus, hingga Talangsari merupakan pelanggaran HAM berat.

Antara/Sigid Kurniawan
Presiden Joko Widodo bersama Menko Polhukam Mahfud MD.
Rep: Antara Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lalu. Jokowi mengaku, telah membaca secara seksama laporan dari tim PPHAM tersebut, yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi saat menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) yang diwakili Menko Polhukam Mahfud MD di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (11/1/2023).

Jokowi menyampaikan, sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa masa lalu. Ke-12 peristiwa tersebut adalah peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Talangsari di Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, penghilang orang secara paksa 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998.

Kemudian, peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Wasior Papua 2001-2002, Wamena Papua 2003, dan Jambo Keupok Aceh 2003. "Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban," kata Jokowi.

Oleh karena itu, Jokowi menegaskan, pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. "Yang kedua, saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," katanya.


Jokowi menyampaikan, telah menginstruksikan kepada Menko Polhukam agar mengawal upaya-upaya konkret pemerintah dalam memastikan dua hal tersebut bisa dilaksanakan dengan baik. "Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa, guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," ucapnya.

Dalam kesempatan lebih awal, Menko Polhukam Mahfud DM menegaskan kembali bahwa kerja Tim PPHAM tidak meniadakan sekali kelanjutan proses yudisial. "Jadi tim ini tidak menutup dan mengalihkan penyelesaian yudisial menjadi penyelesaian nonyudisial. Bukan. Yang yudisial silakan jalan," kata Mahfud.

Tim PPHAM diketuai oleh Profesor Makarim Wibisono bersama tujuh anggota lainnya yakni Ifdal Kasim, Profesor Suparman Marzuki, Dr. Mustafa Abubakar, Profesor Rahayu, KH As'ad Said Ali, Letjen (Purn) Kiki Syahnarki, dan Profesor Komarudin Hidayat. Sementara Mahfud MD menjabat sebagai Ketua Tim Pengarah Tim PPHAM.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
 
Berita Terpopuler