Retno: Penyelesaian Rohingya tidak Mengalami Kemajuan

Isu Rohingya tak bisa diselesaikan jika akar masalah di Myanmar tak diselesaikan.

EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Personel militer mendistribusikan makanan untuk pengungsi Rohingya di tempat penampungan sementara yang disediakan oleh pemerintah daerah Aceh, di Pidie, Aceh, Indonesia, 28 Desember 2022. Polisi setempat mengatakan bahwa 174 migran etnis Rohingya mendarat di Pantai Laweung Pidie, Provinsi Aceh di Indonesia pada 26 Desember , setelah dilaporkan berlayar selama berminggu-minggu di laut. Menurut pernyataan yang dikeluarkan pada 27 Desember oleh Badan Pengungsi PBB (UNHCR), lebih dari 200 orang dibawa ke pantai dengan aman di barat laut Indonesia selama beberapa hari terakhir. Dua kelompok, sekitar 58 pada 25 Desember, dan 174, termasuk mayoritas wanita dan anak-anak, pada 26 Desember, diselamatkan dan diturunkan oleh nelayan Indonesia dan pihak berwenang setempat, tambah UNHCR.
Rep: Fergi Nadira B Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI mencatat lebih dari 1.000 pengungsi Rohingya telah terdaftar berada di Indonesia. Dalam gelombang tiga bulan terakhir ini, tercatat 644 etnis Rohingya tiba di Indonesia.

"Penyelesaian masalah Rohingya tidak mengalami kemajuan dan menjadi sulit dengan situasi di Myanmar sendiri saat ini," ujar Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dalam Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) 2023 di Kemenlu, Rabu (11/1/2023).

Retno mencatat sudah 1.500 migran etnis Rohingya teregistrasi di Indonesia. Masalah ini, kata dia, tidak akan dapat selesai jika akar masalah di Myanmar tidak selesai.

"Isu Rohingya tidak akan dapat diselesaikan jika akar masalah di Myanmar tidak diselesaikan," ujarnya.

Gelombang terbaru kedatangan pengungsi Rohingya menambah jumlah migran dari Myanmar di Indonesia. Mereka kebanyakan tiba di Aceh.

Pada Ahad (25/12/2022), terdampar sebanyak 57 orang di Pantai Indra Patra, Aceh Besar. Kemudian, pada Senin (26/12/2022) juga terdampar sebanyak 174 orang di Kabupaten Pidie.

Yang terkini, terjadi di Pantai Lamnga, Aceh Besar, pada Ahad (8/1/2023). Sebanyak 69 lelaki dewasa, 75 perempuan dewasa, dan 40 anak-anak ikut serta dalam perahu pengungsian dari Bangladesh.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pun terus mendesak Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi PBB 1951 terkait Penanganan Pengungsi. Sebab sejauh ini Indonesia bukan penandatangan konvensi tersebut.

Koordinator Kontras Aceh Azharul Husna menilai, peraturan Presiden nomor 152 tahun 196 saja, teruji tidak cukup komprehensif. "Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 teruji tidak cukup komprehensif," kata dia Senin lalu.

Kendati demikian, menurut Juru Bicara Kemenlu  Teuku Faizasyah, ratifikasi Konvensi PBB 1951 terkait penanganan pengungsi bukanlah hal mudah. Hal itu perlu konsultasi tingkat nasional oleh semua pihak. "Ini satu hal yang sifat-sifatnya memerlukan konsultasi nasional terhadap Konvensi pengungsi," kata Faizasyah kepada Republika, Rabu (11/1/12023).

Kendati begitu, terlepas belum menjadi pihak  konvensi tersebut, Indonesia terus memberikan dukungan dan perhatian pada aspek kemanusiaan untuk para pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh. "Artinya salah satu prinsip yang kita pegang terhadap isu ini, meski belum menjadi penandatangan konvensi 1951, kita terus maksimalkan membantu mereka dengan bekerja sama dengan organisasi internasional," katanya.

Kemenlu bekerja sama dengan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Badan Migrasi Internasional (IOM), dan LSM lokal membantu para pengungsi yang terdampar. "UNHCR, IOM, dibantu sejumlah LSM fokus tangani di lapangan, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan dasar," ujar Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemenlu Achsanul Habib, Senin lalu.


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler