Penggelontoran Dana untuk Masjid-Masjid Mesir di Tengah Krisis Ekonomi Memicu Kritik
Mesir menggelontorkan dana untuk sejumlah masjid di saat negara itu diterpa krisis
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO — Masyarakat Mesir mempertanyakan dana besar-besaran yang digelontorkan pemerintah untuk masjid di tengah krisis ekonomi yang melanda negara itu.
Salah satunya adalah Mahmoud Abdo warga al Qubbah, Kairo. Dia menilai pengeluaran untuk pusat keagamaan terlalu berlebihan di tengah kondisi ekonomi Mesir yang memprihatinkan.
“Kami biasa mendengar orang mengatakan di masa lalu bahwa uang yang dibutuhkan untuk rumah tangga miskin tidak boleh dihabiskan untuk masjid,” kata Abdo seperti dilansir Al Monitor pada Senin (16/1/2023).
Sementara itu sebagian besar masjid memiliki kotak amal untuk mengambil sumbangan bagi pembangunan masjid atau untuk kegiatan amal lainnya.
Namun, pada November tahun lalu, Kementerian Wakaf Agama Mesir menghapuskan adanya kotak donasi, sebaliknya menetapkan bahwa donasi pada masjid harus dilakukan langsung ke rekening masjid melalui transfer bank.
Pada September 2020, Menteri Wakaf Mohammad Mokhtar Gomaa mengungkapkan dalam sebuah wawancara televisi bahwa jumlah masjid di seluruh Mesir telah melampaui 140 ribu termasuk 100 ribu masjid besar.
Seorang warga Distrik Maadi Kairo, Mohammed Ali berusia 60 tahun kecewa dengan kurangnya jamaah yang datang ke masjid untuk sholat lima waktu di lingkungannya, meskipun ada banyak masjid di sana.
“Masjid di daerah saya biasanya penuh hanya saat sholat Jumat dan Ramadhan. Tapi selebihnya, hanya ada sedikit orang yang menghadiri sholat di masjid, ”katanya kepada Al Monitor.
Ali berharap masjid dipenuhi jamaah, apalagi mengingat tingginya jumlah masjid di kawasan pemukiman, dan menekankan pentingnya membangun lebih banyak masjid.
Bulan lalu, Kementerian Wakaf Agama mengumumkan bahwa 9.600 masjid telah dibangun atau direnovasi sejak Presiden Abdel Fattah al-Sisi menjabat pada 2013, dengan biaya 10,2 miliar pound Mesir (sekitar 404 juta dolar AS).
Namun, dorongan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan intelektual dan pemuda Mesir.
Penulis Khaled Montaser mengkritik pengeluaran Pemerintah Mesir di Twitternya bulan lalu. Dia berpendapat bahwa sholat bisa dilakukan di mana saja, tetapi layanan pendidikan membutuhkan sekolah dan perawatan medis membutuhkan rumah sakit.
Majalah AS Ceoworld menempatkan Mesir di tempat terakhir di antara negara-negara Arab dengan gaji rata-rata per kapita, 219 dollar per bulan.
Sementara itu, Mesir menyaksikan kenaikan harga komoditas yang belum pernah terjadi sebelumnya, selain devaluasi pound terhadap dolar AS.
Bulan lalu, Badan Pusat Mobilisasi dan Statistik yang dikelola pemerintah melaporkan bahwa tingkat inflasi di negara itu melonjak dari 6,2 persen pada November 2021 menjadi 19,2 persen pada bulan yang sama tahun ini.
Menanggapi kritik tersebut, sumber dari Kementerian Wakaf Agama Mesir mengatakan kepada Al-Monitor tanpa menyebut nama bahwa pembangunan masjid tidak mengorbankan pekerjaan amal lainnya.
Baca juga: Kisah Pembantaian Brutal 20 Ribu Muslim Era Ottoman Oleh Pemberontak Yunani
Dia mengatakan, Kementerian memenuhi tugas amal dan kemanusiaannya terhadap masyarakat selain membangun dan mengembangkan masjid.
Uang pembangunan itu dari dana abadi selain anggaran yang dialokasikan Kementerian. “Pengeluaran untuk perlengkapan dan perabotan masjid berasal dari sumbangan masyarakat dan kerja amal," jelas sumber itu.
Pada pertemuan dengan para pemuka agama di Kegubernuran Matrouh bulan lalu, Gomaa memuji program pembangunan masjid tersebut.
Dia menambahkan bahwa ini adalah jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Mesir dan negara lain mana pun.
Dalam pernyataan di televisi, Sheikh Khaled al Jundi , seorang anggota Dewan Tertinggi Urusan Islam yang berafiliasi dengan Kementerian Wakaf, setuju bahwa besarnya pendanaan bagi masjid itu adalah tanda melestarikan agama.