Ini Cerita Mahasiswa Unpas yang Menjadi Relawan Kebencanaan
Keputusannya mengabdikan diri pada kemanusiaan juga termotivasi karena ibunya.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gempa 5,6 magnitudo mengguncang Cianjur beberapa waktu lalu, terus menyisakan cerita. Salah satunya, Relawan Pramuka Peduli Kwarda Jabar, Taufik Anugrah.
Menurut mahasiswa Teknologi Pangan Universitas Pasundan (Unpas) ini, tanpa pikir panjang, dia langsung berangkat menuju lokasi. Setibanya di lokasi, Taufik bergegas melakukan asesmen.
Bersama relawan pramuka lainnya, Taufik bertindak sebagai Search and Rescue Unit (SRU) untuk mencari korban yang tertimbun reruntuhan bangunan.
Selama kurang lebih 15 hari,Taufik menyisir wilayah Cugenang, lalu bergeser ke Gasol, dan daerah lain yang terdampak paling parah.
"Selain fokus di kluster pencarian korban, kami juga memantau pos tanggap darurat dan mengondisikan distribusi logistik," ujar Taufik, Selasa (17/1).
Menurutnya, menjadi tim SRU di lokasi bencana bukan pertama kalinya bagi dirinya. Dia pernah terlibat dalam operasi penyelamatan siswa yang terjebak banjir akibat tanggul jebol di SDN Ajitunggal Cijambe, pencarian lansia yang hilang di perkebunan Cibuni, evakuasi jenazah longsor Cimanggung, dan terakhir gempa bumi Cianjur.
Pengalaman penugasan kebencanaannya juga, kata dia, cukup banyak. Yakni, mulai dari tsunami Banten, tanggul jebol Cimareme dan Jati Cluster, longsor Sukajaya, banjir bandang Masamba Sulsel, Cicurug Sukabumi, Pameungpeuk, hingga peristiwa kebakaran.
Mahasiswa kelahiran 1996 ini, telah mengikuti pendidikan spesialisasi dan memiliki segudang pengalaman organisasi. Sehingga, kemampuannya dalam menanggulangi bencana sudah teruji.
Sebelum aktif menjadi relawan kemanusiaan, Taufik mengaku, pernah bergabung sebagai relawan lingkungan, relawan sadar hukum, dan lain-lain. Menyadari kondisi alam yang semakin rusak dan berisiko membahayakan sekitar, dia tergerak untuk turun tangan dan berkontribusi lebih banyak.
Taufik mengatakan, di samping panggilan jiwa dan niat yang tulus, keputusannya untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan dan melakukan kebaikan juga termotivasi dari ibunya.
“Empat tahun lalu, ibu saya divonis kanker yang membuat saya sangat terpukul. Kalau saya berdoa sendiri, pasti tidak akan kuat. Akhirnya, saya berpikir untuk memperbanyak kebaikan," katanya.
Taufik percaya, dari kebaikan itu akan ada pahala yang membuat saya ikhlas untuk dijadikan penggugur penyakit ibu saya.
Seiring waktu, Taufik pun merasa harus meningkatkan kemampuannya. Dan dia memutuskan untuk ikut pendidikan spesialisasi agar niat baiknya tidak berbalik mencelakakan orang lain.
Di lapangan, kata Taufik, dia pun mengaplikasikan 40 persen teori dan 60 persen praktik. Teori tersebut pun, tetap dijadikan pedoman atau pakem selama di lapangan.
“Dengan begitu, kami tahu mana batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Di lapangan juga banyak hal-hal yang tidak terpikirkan, jadi kita mesti bisa improve dan itu tergantung penguasaan teori,” katanya.