Nilai tukar Dolar AS Menguat pada Awal Sesi Asia
Pelemahan penjualan ritel AS memicu kekhawatiran resesi.
REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Dolar AS menguat secara luas pada awal sesi Asia pada Kamis (19/1/2023) pagi, karena kekhawatiran pertumbuhan tentang ekonomi AS mendorong permintaan untuk safe-haven greenback. Sementara yen memperbarui kenaikannya karena investor menggandakan taruhan bahwa bank sentral Jepang (BoJ) akan beralih dari kebijakan kontrol kurva imbal hasilnya.
Data AS lemah yang dirilis pada Rabu (18/1/2023) menunjukkan bahwa penjualan ritel AS turun paling banyak dalam satu tahun pada Desember dan output manufaktur mencatat penurunan terbesar dalam hampir dua tahun, memicu kekhawatiran bahwa ekonomi terbesar dunia itu menuju resesi.
"Data lemah itu benar-benar memperkuat kekhawatiran pasar tentang resesi AS yang akan segera terjadi (yang) benar-benar mendukung dolar, dan saya pikir itu akan menjadi narasi yang berkembang dalam beberapa bulan mendatang," kata Carol Kong, ahli strategi mata uang di Commonwealth Bank of Australia (CBA).
Sterling turun 0,17 persen menjadi 1,2327 dolar, jauh dari tertinggi satu bulan sesi sebelumnya di 1,2435 dolar. Sementara Aussie turun 0,49 persen menjadi 0,6907 dolar, setelah menderita kerugian 0,64 persen pada Rabu (18/1/2023).
Euro turun 0,02 persen menjadi 1,0792 dolar, sama jauhnya dari tertinggi sembilan bulan pada Rabu (18/1/2023) di 1,08875 dolar, bahkan ketika ketua bank sentral Prancis Francois Villeroy de Galhau mempertahankan sikap hawkish atas jalur kenaikan suku bunga Bank Sentral Eropa di masa depan.
Gelombang baru penghindaran risiko, ditambah dengan berita pemutusan hubungan kerja oleh raksasa teknologi Microsoft dan Amazon, juga mempertahankan dolar dalam penawaran.
"Efek pengetatan FOMC akan semakin terlihat," kata Kong.
Namun, greenback gagal menambah keuntungan terhadap yen Jepang dan terakhir 0,4 persen lebih rendah pada 128,42 yen, melepaskan sebagian besar reli hari sebelumnya segera setelah keputusan BoJ untuk mempertahankan kebijakan moneternya yang sangat longgar.
Menentang ekspektasi pasar, BoJ mempertahankan target suku bunga dan kisaran imbal hasil, dan sebagai gantinya membuat senjata baru untuk mencegah kenaikan suku bunga jangka panjang terlalu banyak, untuk menunjukkan tekad mempertahankan kebijakan YCC (kontrol kurva imbal hasil) untuk saat ini.
Keputusan itu membuat yen anjlok sekitar 2,0 persen terhadap greenback dan terhadap mata uang lainnya tak lama setelah itu, di samping imbal hasil obligasi pemerintah Jepang, yang anjlok paling dalam dua dekade pada satu titik pada Rabu (18/1/2023).
Euro terakhir 0,39 persen lebih rendah pada 138,58 yen, sementara sterling turun 0,23 persen menjadi 158,27 yen, karena pasar terus menguji tekad sikap ultra-dovish BoJ.
"Saya pikir itu benar-benar mencerminkan fakta bahwa para pelaku pasar masih berspekulasi tentang pergeseran kebijakan bank sentral Jepang meskipun mereka tidak bertindak kemarin," kata Kong dari CBA. "Meskipun masih ada ekspektasi tinggi untuk perubahan kebijakan, saya pikir itu akan membuat yen cukup tinggi dalam waktu dekat."