Indonesia Relatif Aman dari Dampak Resesi, Ini Dia Faktor Pendukungnya

Indonesia relatif aman karena didukung kebijakan suku bunga acuan BI dan harga pangan

EPA-EFE/ADI WEDA
Orang Indonesia berjalan melintasi jalan utama di Jakarta. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menyatakan kebijakan makro yang diambil Indonesia membuatnya relatif aman dari resesi. Resesi diperkirakan jadi situasi yang baru akan berakhir di akhir 2023 atau di awal 2024.
Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran menyatakan, kebijakan makro yang diambil Indonesia membuatnya relatif aman dari resesi. Resesi diperkirakan jadi situasi yang baru akan berakhir di akhir 2023 atau di awal 2024.


“Misalnya saja, untuk mengontrol inflasi, Indonesia tidak hanya menggunakan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI, tapi juga dibarengi dengan menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar dan di tingkat petani,” ujar Hasran berdasarkan rilis yang diterima Republika, Ahad (22/1/2023).

Hasran melanjutkan, dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari tingkat inflasi Indonesia yang berada di kisaran 5 persen selama tahun 2022, dengan tingkat suku bunga acuan kisaran 5.50 persen. Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di kisaran 30,1 persen, jauh dari batas aman 60 persen yang ditetapkan dalam undang-undang. 

Cadangan devisa Indonesia juga berada dalam kategori aman, yaitu setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

Walaupun begitu, sektor perdagangan sangat mungkin terdampak resesi global dan hal ini bisa menghentikan surplus neraca perdagangan yang sempat diraih Indonesia sejak awal 2020. Surplus yang disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas, seperti batu bara, nikel, dan CPO ini akan terhenti karena adanya penurunan permintaan dan harga untuk komoditas-komoditas tadi di pasar global. 

Resesi adalah memburuknya kondisi perekonomian negara selama dua kuartal berturut-turut yang ditandai dengan penurunan GDP, meningkatnya pengangguran dan penurunan produktivitas pada sektor riil. Penyebab utama resesi ekonomi kali ini adalah naiknya suku bunga bank sentral negara-negara kekuatan utama dunia sebagai upaya dalam menekan inflasi. 

Hasran juga melihat kondisi ini akan membuat industri membayar biaya bunga pinjaman yang lebih tinggi. Untuk meminimalisasi ini, industri akan lebih memilih mengurangi produksinya dan mengurangi jumlah tenaga kerja.

“Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli karena masyarakat akan memprioritaskan konsumsinya pada hal-hal yang dianggap penting. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor-sektor terkait,” katanya.

Masyarakat kurang mampu adalah mereka yang paling terdampak dengan adanya krisis biaya hidup karena mereka tidak memiliki banyak pilihan. Naiknya inflasi akan sangat memangkas pendapatan mereka. 

Laporan BPS mengungkapkan, semenjak pulih dari pandemi Covid-19, data kemiskinan per Maret 2022 menunjukkan adanya penurunan sebesar 0,60 persen dibanding pada Maret 2021. Namun, ketika inflasi menghantam perekonomian kemiskinan kembali meningkat sebesar 0,03 persen pada September 2022.

Masyarakat berpenghasilan rendah harus mengalokasikan konsumsinya pada pos-pos yang lebih penting berdasarkan skala prioritas, seperti mengurangi pengeluaran di luar konsumsi pangan. Pada saat yang sama, pemerintah perlu mempertimbangkan alokasi bantuan sosial yang lebih terarah dan lebih menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.

Berkurangnya permintaan di Eropa dan Amerika sebagai dampak dari krisis biaya hidup ini akan memengaruhi produksi dan margin perusahaan-perusahaan multinasional atau perusahaan manufaktur di Indonesia. Dalam masa ini, perusahaan akan bisa saja melakukan PHK. Sedangkan lapangan pekerjaan baru yang dibuka akan lebih sedikit.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler