Wacana Interpelasi DPR Merespons Munculnya Kembali Kematian Anak Akibat Gagal Ginjal
Dalam waktu dekat, Komisi IX DPR akan memanggil BPOM.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Wahyu Suryana
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengatakan Komisi IX DPR membuka kemungkinan mengambil hak interpelasi terkait munculnya kembali kasus kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) yang menewaskan anak. Sebelum itu, Komisi IX DPR akan memanggil Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Sebelum tutup masa sidang tanggal 15 kita akan memanggil Kepala BPOM dan kita agendakan tentang tindak lanjut penanganan kasus GGAPA pada anak termasuk kasus baru yang beberapa hari ini kembali menyedot perhatian kita semua," ujar Netty dalam keterangannya pada diskusi publik di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Netty mengatakan, Komisi IX juga akan menanyakan hasil berbeda pemeriksaan obat sirup Praxion antara BPOM dan Labkesda DKI Jakarta kepada BPOM. Menurut Netty, hal sama juga sudah ditanyakan langsung kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
"Kemarin kita juga sudah menanyakan langsung kepada pak menteri," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Komisi IX meminta Kemenkes untuk melibatkan laboratorium independen untuk melakukan penelitian terhadap obat sirop yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas.
"Kemarin kita tanyakan mengapa bisa ada hasil yg berbeda antara Labkesda DKI dengan laboratorium milik Badan POM," ujar Netty.
Karena itu, kata Netty, jika penjelasan yang disampaikan BPOM dan jajaran tidak memenuhi harapan publik, dimungkinkan DPR akan menggunakan hal interpelasi terhadap Pemerintah. Pengambilan hak interpelasi agar pemerintah baik Kementerian Kesehatan maupun BPOM betul-betul bertanggung jawab atas kasus GGAPA.
"Hasil rapat sangat dimungkinkan kita akan mendorong agar digunakannya hak interpelasi oleh anggota DPR RI khususnya dari Komisi IX menginisiasi hak interpelasi itu agar pemerintah betul-betul bisa bertanggung jawab, jangan lempar batu sembunyi tangan dari kasus yang sudah terjadi sejak September, bahkan sejak Januari sudah ada," katanya.
Netty juga mendorong pemerintah segera menetapkan kasus GGAPA menjadi kejadian luar biasa (KLB). Penetapan status KLB agar pemerintah lebih serius dalam menangani kasus yang sudah banyak menyebabkan kematian pada anak tersebut.
"Saya selalu menyebutkan, pemerintah jangan malu untuk menetapkan GGAPA ini sebagai kejadian luar biasa KLB," ujar Netty.
Sebelumnya, anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar, Emanuel Melkiades Laka Lena, meminta BPOM segera mengusut tuntas kasus ini. Serta, menemukan penyebab kemunculan lagi kasus GGAPA tersebut.
Ia menegaskan, hasil uji sampel obat yang dilakukan BPOM harus segera diungkap. Emanuel turut meminta kepada pihak-pihak terkait lain segera menemukan penyebab kematian gagal ginjal akut pada anak itu agar tidak menimbulkan kekhawatiran.
"Karena obat atau faktor yang lain, intinya otoritas penelitian kita BPOM, ada di Puslabfor Mabes Polri, perusahaan swasta, segera bisa mengetes dan menemukan apa yang menjadi penyebab utama dari meninggalnya anak tersebut," kata Emanuel, Rabu (8/2/2023).
Tim Advokasi Keluarga Korban GGAPA Julius Ibrani juga mendesak pemerintah segera menetapkan status KLB. Karena hingga setahun lebih kejadian, kasus GGAPA tidak juga selesai ditangani bahkan terbaru ada dua kasus yang kembali memakan korban.
"Ini sudah sepatutnya menjadi tragedi dan ditetapkan sebagai kejadian yang luar biasa. kalau tidak percaya juga, fatality rate-nya sudah di atas 50 persen," ujar Julius, Kamis (9/2/2023).
Menurut Julius, kasus GGAPA sudah memenuhi indikator KLB. Indikator pertama, kasus GGAPA muncul dari produk fasilitas kesehatan yang resmi dari negara maupun swasta yang terdaftar secara resmi sehingga negara menjadi aktor utama dari kelalaian tersebut. Kedua, saat ini kasus GGAPA sudah menyebar di 27 provinsi dan mengakibatkan 201 anak meninggal dunia.
"Saya tidak akan bilang satu atau dua atau 200 tetapi satu saja meninggal ini sudah tragedi, yang dialami ini 201, lalu indikator selanjutnya ini berlangsung selama lebih dari setahun. durasi yang amat sangat panjang, tidak durasi yang singkat," ujarnya.
Menurut Julius, hingga detik ini juga tidak ada satu pun kebijakan manajemen krisis yang dikeluarkan Pemerintah dalam kasus GGAPA. Sehingga, tidak ada satu SOP yang sama dalam penyelesaian kasus GGAPA di berbagai provinsi.
"Tidak ada SOP yang diturunkan secara nasional kepada 27 provinsi sehingga fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan menerapkan treatment yang sama, dan pendekatan yang sama," ujarnya.
"Selanjutnya belum pernah ada identifikasi, bukan hanya identifikasi terhadap pada ginjal itu sendiri, penyakit penyerta yang diakibatkan oleh gagal ginjal ini belum ada," tambahnya.
Pada Rabu (8/2/2023), Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya masih menunggu penelitian antara laboratorium BPOM dengan pembandingnya terkait ditemukannya dua kasus terbaru GGAPA. Hingga kini, Kemenkes belum dapat menetapkan KLB terhadap penyakit tersebut.
"Ini yang kejadian kan satu dan masih perlu ditentukan lagi penyebabnya itu apa, karena ada perbedaan hasil dari dua laboratorium ini. Nah itu yang sekarang kita tunggu saja," ujar Budi seusai rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Rabu (8/2/2023).
Adapun saat ini, Kemenkes telah berkoordinasi dengan BPOM untuk mengimbau perusahaan obat untuk melakukan penarikan sukarela atau voluntary withdrawal. Pihaknya meminta dokter anak untuk meresepkan obat berisiko lebih rendah.
"Kita sudah berkoordinasi dengan BPOM untuk mengimbau perusahaannya akan melakukan voluntary withdrawal. Kedua, kita juga sudah mengimbau kepada IDAI agar meresepkan obat-obat yang berisiko lebih rendah, nah itu mereka yang nanti akan menentukan obatnya sendiri," ujar Budi.