Tidak Semua Anak Korban Kekerasan Seksual Berani Ngomong, Bagaimana Mendeteksinya?
Ada beberapa petunjuk yang dapat ditangkap orang tua anak korban kekerasan seksual.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Eva Devita menuturkan tidak semua anak berani mengungkapkan kekerasan seksual yang dialami. Itu artinya seharusnya orangtua bisa mengenali tanda bila mereka mengalami petaka tersebut.
Tanda pertama yang bisa terpantau dengan cukup mudah, yakni perubahan perilaku. Anak tiba-tiba menjadi pencemas, mengalami depresi, anak yang tadinya ceria berubah murung, takut bertemu orang asing, bahkan mungkin menghindar dari pelaku.
Selain itu, anak akan cenderung menarik diri. Pada anak yang sudah berusia remaja, mereka terkadang bisa menunjukkan perilaku percobaan bunuh diri, performa di sekolah menurun, dan berkurangnya konsentrasi.
Tanda lainnya ialah munculnya keluhan-keluhan tidak jelas dari anak seperti menolak untuk pergi ke sekolah, sakit perut, dan sakit kepala. Menurut dr Eva, anak juga bisa mengalami gangguan makan dan tidur. Bentuknya mulai dari tidak nafsu makan, tidak mau makan, bulimia yakni memuntahkan makanan yang sudah dimakan, mengalami mimpi buruk, dan sulit untuk tidur.
"Ada keluhan buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) seperti suka kecipirit, mengeluh nyeri saat BAK dan BAB, ada gatal, cairan atau kotoran yang keluar dari vagina serta ada luka di kemaluan atau anus," kata dr Eva dalam media briefing secara virtual, Kamis (9/2/2023).
Penelitian menunjukkan, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual bisa mengalami depresi. Mereka juga dapat merasa bersalah pada diri sendiri, kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain, dan suka berganti pasangan di usia remaja.
Korban kekerasan seksual di usia remaja juga empat kali lebih mungkin mengalami perilaku atau upaya bunuh diri. Lebih lanjut, mereka pun empat kali lebih besar berisiko melakukan hubungan seksual sebelum usia 15 tahun serta 4,5 kali lebih mungkin mengalami depresi.
"Dampaknya saat anak mengalami kejadian dan ke depannya anak juga berisiko alami permasalahan," kata Eva.
Dampak ini, menurut Eva, tergantung juga pada sejumlah faktor. Usia anak saat mengalami kekerasan, frekuensi mengalami kekerasan, dan derajat beratnya kekerasan yang dialami termasuk di antaranya.
Selain itu, hubungan anak dengan pelaku juga berpengaruh. Apabila pelaku adalah orang terdekatnya, maka itu bisa meningkatkan rasa cemas dan memengaruhi kepribadian serta kondisi sosial dan emosional anak.
"Namun, ada faktor protektif seperti dukungan keluarga dan teman sebaya yang bisa mengurangi dampak-dampak itu," ujar Eva.