Moldova Kembali Jadi Pusat Perselisihan Barat dan Moskow
Presiden Moldova Maia Sandu menuduh Rusia berencana menggulingkan pemerintahannya.
REPUBLIKA.CO.ID, CHISINAU -- Moldova yang diapit Ukraina dan Rumania kerap menjadi pusat perselisihan Barat dan Moskow. Kini mereka berada di posisi yang tidak nyaman itu lagi.
Presiden Moldova Maia Sandu menuduh Rusia berencana menggulingkan pemerintahannya dengan paksa untuk menggagalkan aspirasinya bergabung dengan Uni Eropa. Rencana ini diungkapkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pekan lalu.
Sandu mengatakan Moskow berencana untuk menggulingkan pemerintahannya melalui sabotase dari luar. "Dengan latihan militer, kamuflase baju sipil, orang yang akan mengambil aksi kekerasan, menyerang beberapa gedung pemerintah, dan mengambil sandera," katanya di Chisinau, Senin (13/2/2023).
Ia menambahkan Rusia akan menempatkan pemerintah tidak sah yang akan menempatkan Moldova di tangan Rusia. "Sebagai upaya untuk menghentikan proses integrasi dengan Eropa," kata Sandu.
Sandu mengklaim Rusia ingin menggunakan Moldova dalam perang di Ukraina, ia tidak menjelaskan pernyataan tersebut lebih lanjut. Ia menambahkan Parlemen harus mengadopsi undang-undang untuk melengkapi Badan Intelijen dan Keamanan dan kejaksaan dengan alat "untuk menghadapi resiko pada keamanan negara lebih efektif."
Pekan lalu Zelenskyy mengatakan negaranya telah menggagalkan rencana badan keamanan Rusia untuk menghancurkan Moldova. Klaim tersebut dikonfirmasi badan intelijen Moldova.
Belum ada tanggapan dari Moskow tapi pada awal bulan ini Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan Barat mempertimbangkan mengubah Moldova menjadi "Ukraina berikutnya."
Setelah Rusia menginvasi Ukraina ketegangan di Moldova semakin memanas. Terutama karena sekitar 1.500 pasukan Rusia di wilayah yang ingin memisahkan diri.
Tidak lama setelah Uni Soviet ambruk di awal 1990-an Moldova mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1991. Salah satu negara termiskin di Eropa yang berpopulasi 2,6 juta orang itu memiliki hubungan historis dengan Rusia tapi ingin bergabung dengan Uni Eropa.
Moldova kerap dilanda krisis politik, sering kali berada di antara sentimen pro-Rusia dan pro-Barat. Beberapa tahun terakhir Moldova dilanda kekecewaan politik pasca-Soviet dan ratusan ribu warganya pergi ke luar negeri untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Situasi semakin rumit dengan perang separatis yang pecah di wilayah timur Transnistria pada tahun 1990. Sebidang tanah sekitar 400 kilometer antara timur sungai Dniester di Moldova dengan perbatasan Ukraina.
Sebagai bagian dari gencatan senjata pada tahun 1992, kontingen pasukan Rusia tetap bertahan di sana sebagai pasukan penjaga perdamaian. Sejak itu wilayah tersebut bersikeras bukan bagian dari Moldova, dan mayoritas 470 ribu warganya berbicara Rusia meski mereka mengidentifikasi etnis Moldova, Ukraina atau Rusia.
Pada tahun 2021 setelah berpuluh-puluh tahun dikuasai kekuatan oligarki dan pemimpin yang dekat dengan Rusia. Moldova memilih pemimpin pro-Barat dan Eropa. Hal ini mendekatkan negara itu ke Barat.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, Moldova semakin mendekatkan diri ke Barat. Bulan Juni tahun lalu negara itu mendapatkan status kandidat negara anggota Uni Eropa, di hari yang sama dengan Ukraina.
Tapi perjalanan Moldova menjadi anggota blok tersebut masih panjang. Mereka harus mengatasi korupsi dan kejahatan terorganisir dan pelanggaran hak asasi manusia serta memperkuat supremasi hukum.
Satu tahun terakhir ketegangan di Moldova kian memanas karena menghadapi masalah dan insiden yang meresahkan. Termasuk krisis energi setelah Moskow mengurangi pasokan gas ke negara itu. Inflasi juga meroket dan datang gelombang pengungsi dari negara tetangga yang sedang berperang.
Pada Apil lalu dilaporkan sebuah ledakan di ibukota de facto Transnistria, Tiraspol. Laporan ini menimbulkan kekhawatiran perang di Ukraina sudah menyebar ke Moldova. Beberapa bulan terakhir sejumlah rudal masuk ke ruang udara negara itu dan pecahan roket dapat ditemukan di teritorialnya.