Kurangnya Literasi, Penyebab Masyarakat Terjerat Janji Manis Investasi Bodong

Kita harus menyadari bahwa ada risiko tiap kali ada orang yang menjanjikan keuntungan

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali mengatakan, masih terjeratnya masyarkat ke investasi bodong lantaran selama ini masyarakat hanya melihat janji manis dan keuntungan yang besar.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 2022, Satgas Waspada Investasi (SWI) menghentikan kegiatan 895 entitas yang terlibat dalam praktik investasi, pinjaman online (pinjol), dan gadai ilegal dengan total kerugian Rp 106 triliun. Angka entitas investasi ilegal pada 2022 adalah 106, berkurang tiga kali lipat dibandingkan 2020.

Baca Juga


Sayangnya, pada 2023 kasus investasi bodong masih berlanjut di berbagai lapisan masyarakat. Seperti kasus yang melibatkan ibu-ibu rumah tangga di Kuningan, Jawa Barat, dengan nilai kerugian mencapai Rp 31 miliar.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali mengatakan, masih terjeratnya masyarkat ke investasi bodong lantaran selama ini masyarakat hanya melihat janji manis dan keuntungan besar. Hal tersebut bahkan terus berulang terjadi sejak 30 tahun lalu.

"Setiap orang harus menyadari ada risiko tiap kali ada orang yang menjanjikan keuntungan. Keuntungan yang besar maka risiko semakin besar," ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (20/2/2023).

Bahkan, sambung Rhenald, di saat situasi ekonomi memburuk, akan semakin banyak kasus investasi bodong terungkap. Karena itu, penting masyarakat untuk sadar dan terus meningkatkan literasi keuangan.

"Jadi ketika hendak investasi harus cek dulu, benar atau tidak, resmi atau tidak, karena semakin besar janjinya itu semakin mencurigakan," kata dia.

Selain ifu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus terus meningkatkan pengawasannya agar masyarakat lebih terproteksi. Masyarakat juga harus cerdas mengambil keputusan bila akan berinvestasi dengan modal cukup tinggi.

"Ketika mau ambil keputusan untuk uang besar harus berhati-hati , harus hitung, dan cari info, orang tidak boleh bernafsu, itu bagian dari keserakahan dan membuat kita terpuruk," kata Rhenald lagi.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler