Pria Ini Buta Selama Setahun Setelah Menatap Matahari

Kebutaan fungsional dapat terjadi akibat otot mata berada dalam keadaan kejang.

Republika/Yogi Ardhi
Matahari terbit (ilustrasi). Seorang pria di Inggris menderita blepharospasm dan membutuhkan suntikan botoks agar dapat kembali melihat. Kondisi itu dideritanya setelah menatap matahari.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang akuntan asal Inggris, Robert Graham, menderita kebutaan selama satu tahun. Hal ini terjadi setelah dirinya menatap ke arah matahari lalu berkedip.

Keesokan paginya, Graham tak bisa melihat. Awalnya, pria berusia berusia 67 tahun itu berharap gejala yang dialaminya hanya sementara.

Graham melanjutkan hidup dan baru memutuskan untuk mengunjungi spesialis mata setahun kemudian. Sejak menerima suntikan botoks atas rekomendasi dokternya, Robert akhirnya bisa melihat dengan jelas lagi.

Baca Juga



Graham didiagnosis menderita blepharospasm. Dia perlu mendapatkan suntikan botoks agar bisa kembali melihat.

"Blepharospasm adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kontraksi abnormal otot di sekitar kelopak mata, terutama otot orbularis oculi di kelopak mata atas dan bawah," kata ahli bedah mata dr Susan Sarangpani.

Blepharospasm tidak memengaruhi penglihatan, jadi tidak langsung menyebabkan kebutaan. Namun, hal itu dapat mengakibatkan "kebutaan fungsional", di mana otot penglihatan berada dalam keadaan kejang yang tidak terkendali dan orang tersebut tidak dapat membuka mata.

"Ini berarti bahwa orang tersebut tidak dapat melihat dan secara efektif 'buta' saat menderita kondisi tersebut," papar dr Sarangpani.

Suatu pagi di 2014, Graham berjalan keluar dari stasiun kereta api di Leeds, West Yorkshire dan melihat ke arah matahari dan berkedip ke arah cahaya itu. Seketika kelopak matanya benar-benar tertutup dan sama sekali tidak mau terbuka.

Dengan jemarinya, Graham kemudian mendorong kelopak matanya agar terbuka. Ia berpikir mungkin itu karena terlalu silau.

Graham pun pindah ke tempat teduh. Dia bisa menyipitkan matanya, kelopaknya terbuka sedikit. Namun, setiap kali dia mendapati dirinya menghadapi angin, kelopak matanya tertutup lagi, dan dia hanya bisa sedikit membuka matanya beberapa detik.

Menurut Dr Sarangpani, ada dua jenis blepharospasm, yakni blefarospasme esensial dan blefarospasme refleks. Blefarospasme esensial adalah jenis gangguan gerakan saraf di mana terjadi kontraksi otot yang tidak disengaja dan berkelanjutan di sekitar kelopak mata.

Sementara itu, blefarospasme refleks sedikit berbeda karena terjadi sebagai gejala dari kondisi lain yang menyebabkan ketidaknyamanan atau iritasi di sekitar mata, seperti blepharitis, mata kering, peradangan pada mata, sensitivitas cahaya, atau meningitis. Dalam kondisi tersebut, cahaya juga dapat bertindak sebagai rangsangan langsung untuk kejang dan gejala lain dari kondisi tersebut.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa lebih dari 80 persen orang dengan kondisi tersebut sensitif terhadap cahaya. Gejala biasanya dimulai dengan berkedip sebentar-sebentar dan hilang setelah tidur atau istirahat, menurut dr Sarangpani.

Namun, kondisi dapat berkembang menjadi kejang tak terkendali yang lebih parah. Bisa juga menjadi kedutan otot kelopak mata dengan periode mata terbuka yang lebih sedikit.

"Blepharospasm dalam beberapa kasus juga dapat berkembang melibatkan otot-otot wajah lainnya, yang menyebabkan kejang abnormal pada otot pipi, mulut, dan bahkan leher," jelas dr Sarangpani.

Hal ini dapat menyebabkan sakit kepala, nyeri di dalam dan sekitar mata, penyempitan bukaan mata, dan kesulitan membuka mata. Kondisi tersebut akan membatasi kemampuan untuk melakukan tugas sehari-hari.

Pada Maret 2015, Graham dirujuk ke spesialis mata yang kemudian mendiagnosisnya dengan blepharospasm. Dokter pun segera merekomendasikan botox.

Dalam 24 jam perawatan, peningkatan pandangannya kian membaik. Graham tidak lagi mengalami "kebutaan fungsional" sejak itu.

Kini Graham menjalani 15 hingga 16 suntikan botoks di sekitar matanya. Dia masih harus mendapatkan suntikan itu setiap dua hingga tiga bulan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler