Parlemen Rusia akan Setujui Penangguhan Perjanjian Nuklir
Langkah Rusia telah memicu kekhawatiran di Washington dan Eropa.
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Parlemen Rusia diperkirakan akan menyetujui langkah untuk menangguhkan perjanjian nuklir paling cepat pada Rabu (22/2/2023) waktu setempat. Ketua Duma Rusia atau majelis rendah parlemen, Vyacheslav Volodin menuding Amerika Serikat (AS) sebagai penyebab atas keputusan Presiden Vladimir Putin untuk menangguhkan partisipasi Moskow dalam perjanjian nuklir New START.
"Dengan berhenti memenuhi kewajibannya dan menolak proposal negara kami tentang masalah keamanan global, Amerika Serikat menghancurkan arsitektur stabilitas internasional," kata Volodin dalam sebuah pernyataan.
Langkah Rusia telah memicu kekhawatiran di Washington dan Eropa. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov, yang mengawasi diplomasi kontrol senjata Rusia dengan Amerika Serikat, mengatakan, kemungkinan dimulainya kembali perjanjian itu bergantung pada Washington. Ryabkov mengatakan, Moskow mengawasi dengan cermat kekuatan nuklir negara NATO lainnya, yaitu Inggris dan Prancis.
"Kami jelas akan memberikan perhatian khusus dan keputusan apa yang diambil London dan Paris, yang tidak dapat lagi, bahkan secara hipotetis, dipertimbangkan di luar dialog Rusia-AS tentang pengendalian senjata nuklir," kata Ryabkov seperti dikutip kantor berita TASS.
Ryabkov mengatakan, saat ini tidak ada dialog langsung antara Moskow dan Washington mengenai masalah nuklir. Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan, Rusia akan terus mematuhi batasan jumlah hulu ledak yang dapat dikerahkan dan terbuka untuk membatalkan keputusannya.
Putin mengumumkan penangguhan perjanjian nuklir dalam pidatonya pada Selasa (21/2/2023). Mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev, yang sekarang menjadi wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, mengatakan, langkah Putin itu merupakan tanggapan yang "sudah lama tertunda" terhadap Amerika Serikat dan NATO yang secara efektif menyatakan perang terhadap Rusia.
"Keputusan ini dipaksakan kepada kami oleh perang yang diumumkan oleh Amerika Serikat dan negara-negara NATO lainnya di negara kami. Ini akan memiliki resonansi besar di dunia secara keseluruhan dan di Amerika Serikat pada khususnya," kata Medvedev.
Medvedev juga menyerukan agar persenjataan nuklir Inggris dan Prancis dimasukkan dalam perjanjian pengendalian senjata di masa depan antara Rusia dan Barat. Perjanjian New START ditandatangani oleh mantan presiden Barack Obama dan Medvedev pada 2010. Perjanjian tersebut membatasi jumlah hulu ledak nuklir strategis yang dapat digunakan oleh kedua negara.
Rusia dan Amerika Serikat sama-sama memegang 90 persen hulu ledak nuklir dunia. Perjanjian New START membatasi masing-masing pihak untuk memiliki 1.550 hulu ledak pada peluncur rudal dan pembom berat yang dikerahkan. Kedua belah pihak memenuhi batas tengah pada 2018.