Banyak Anak Penyintas Gempa Turki Alami Gangguan Kesehatan Mental
Jutaan orang telah kehilangan anggota keluarga, pekerjaan dan harapan.
REPUBLIKA.CO.ID, ANTAKYA -- Sudah tiga minggu sejak bibi dan nenek dari anak bernama Tugce Seren Gul tewas di Antakya ketika gempa dahsyat melanda tenggara Turki awal bulan Februari lalu. Kini hampir di setiap malam, dia mencoba tidur hingga menunggu sampai jam 4.17 pagi, waktu yang tepat saat bencana gempa Turki melanda.
"Saya terus berpikir bencana lain akan terjadi saat itu dan tunggu saja sampai berlalu," kata Gul, 28, yang berhasil melarikan diri dari rumah keluarganya bersama ibunya beberapa saat sebelum dinding rumahnya runtuh saat gempa lalu.
Setelah sampai di jalan tanpa alas kaki, Gul melihat jenazah tetangganya yang meninggal akibat tertimpa beton. Dia ingat jeritan orang-orang yang terjebak di gedung-gedung yang runtuh.
Gul mengatakan kengerian itu telah berdampak besar pada kesehatan mentalnya, dan mental para penyintas yang kehilangan segalanya di kota Antakya, yang hancur akibat gempa. Dia ingin suatu hari mencari bantuan profesional untuk mengatasi trauma, tetapi untuk saat ini membangun kehidupan baru untuk dirinya dan keluarganya adalah satu-satunya prioritas.
Gempa berkekuatan 7,8 skala Richter, yang paling mematikan dalam sejarah Turki modern, akan memiliki dampak psikologis yang mendalam, kata para ahli dan pejabat setempat. Lebih dari 44.300 orang meninggal di negara itu dan lebih dari 1,5 juta orang kehilangan tempat tinggal dan harus hidup dalam kondisi kedinginan.
Jutaan orang telah kehilangan anggota keluarga, pekerjaan, tabungan hidup dan harapan mereka untuk masa depan.
Anak-anak berisiko
Para ahli khawatir anak-anak akan terkena dampak paling parah. Dana Darurat Anak Internasional PBB (UNICEF) mengatakan banyak dari lebih dari 5,4 juta anak yang tinggal di zona gempa, berisiko mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma.
"Kami tahu betapa pentingnya belajar dan rutinitas bagi anak-anak dan pemulihan mereka," kata Direktur Regional UNICEF untuk Eropa dan Asia Tengah Afshan Khan, setelah berkunjung ke Turki.
"Mereka harus dapat melanjutkan pendidikan mereka, dan mereka sangat membutuhkan dukungan psikososial untuk membantu mengatasi trauma yang mereka alami."
Di sebuah kamp besar untuk para pengungsi di sebelah Stadion Hatay di pinggiran Antakya, tim dukungan psikososial telah mendirikan area bermain kecil dan mendirikan tenda yang diisi dengan mainan. Anak-anak duduk di kursi warna-warni di depan layar portabel besar yang memutar kartun. Beberapa anak bermain jungkat-jungkit.
Mehmet Sari, seorang relawan psikososial dari pemerintah, mengatakan dia dan orang lain di timnya menemukan tanda-tanda trauma pada anak-anak. "Kami melihat beberapa anak tidak bisa tidur, yang lain tidak bisa makan, yang lain mengalami kilas balik dan mengompol," katanya kepada Reuters.
Mereka membutuhkan dukungan jangka panjang untuk pulih dari trauma, katanya.
Kementerian Keluarga dan Layanan Sosial Turki mengatakan telah mengirim lebih dari 3.700 pekerja sosial untuk mendukung para penyintas di seluruh zona gempa. Relawan dengan kelompok Sokak Sanatlari Atolyesi yang berbasis di Izmir mengenakan kostum Superman dan badut serta menjalankan aktivitas untuk anak-anak yang tinggal di tenda-tenda di tempat penampungan di provinsi Hatay.
Tapi gempa besar berkekuatan 6,4 Senin lalu yang kembali terjadi, telah semakin menghancurkan upaya untuk memberi anak-anak perasaan normal di tengah minggu-minggu yang menakutkan setelah guncangan yang terus terjadi.
Sebuah video yang dibuat oleh Erdal Coban, salah satu relawan dan art director dari Sokak Atolyesi, memperlihatkan sorakan dan nyanyian anak-anak yang awalnya gembira berganti menjadi teriakan histeris. "Tetap tenang," teriak salah satu yang lain sambil memegang balita yang dibawanya.
Para penyintas ini sudah berada di bawah tekanan yang signifikan, kata Ayse Bilge Selcuk, psikolog dan profesor di Universitas MEF, karena meningkatnya kemiskinan dan dampak pandemi Covid-19. Sekarang gempa telah membawanya ke tingkat stres berikutnya.
"Stresnya kronis dan konstan dan sekarang melampaui tingkat yang bisa kita atasi," kata Selcuk.
"Agar bangsa ini bangkit kembali, kita perlu menemukan kekuatan itu di dalam diri kita dan itu dimulai dengan psikologi kita," tambahnya.
Presiden Tayyip Erdogan telah berjanji untuk membangun kembali rumah dalam waktu satu tahun, tetapi masih akan memakan waktu berbulan-bulan sebelum ribuan orang dapat meninggalkan tenda perlindungan atau lepas dari kontainer pengiriman dan antrean makanan setiap hari. Kemudian mereka bisa berpindah ke perumahan permanen, karena itu jadi kunci untuk mendapatkan rasa normal dan aman yang mungkin telah hilang.
Banyak penyintas yang terlihat tanpa ekspresi, mati rasa, kemungkinan merupakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi stres yang tidak dapat diatasi, menurut Selcuk. Kecemasan, ketidakberdayaan, dan depresi cenderung umum terjadi dan kaum muda dapat merasakan kemarahan.
Upaya untuk bangkit kembali harus mencakup kesehatan mental, kata Selcuk, karena itu ia mendesak pemerintah untuk menyediakan dana bagi psikolog terlatih untuk dikirim ke zona gempa dan tinggal di sana membantu penyintas. "Keberlanjutan adalah kuncinya. Kita tidak boleh hanya menarik kepedulian kita di tiga bulan kemudian, tapi lebih dari itu," katanya.