Guru Besar Unkris Prof Gayus: Kasus Sambo Pelajaran Lihat Hukum dalam Perspektif Utuh

Hukum tak memisahkan kejujuran, kebenaran, keadilan, dan tak sepenggal-penggal.

Republika/Wihdan
Mantan Hakim Agung yang kini menjadi Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Prof Gayus Lumbuun.
Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ferdy Sambo dkk atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Namun diyakini vonis majelis hakim tersebut belum menjadi babak akhir dari proses persidangan yang telah berjalan sekitar enam bulan.

Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun mengatakan, kekecewaan keluarga almarhum Brigadir J terhadap putusan majelis hakim seperti disampaikan Samuel Hutabarat, ayah Brigadir J terhadap putusan Bharada Eliezer yang menerima vonis hukuman ringan dari majelis hakim dan juga kembali diterima sebagai anggota Polri justru akan menjadi pintu masuk apa yang disebut sebagai fase "Terbitlah Terang".

“Kekecewaan keluarga Brigadir J itu akan menjadi sebuah titik terang yang pada saatnya nanti akan menerangi kegelapan,” ujar Prof Gayus, Selasa (28/2/2023).

Prof Gayus bisa memahami kekecewaan dan kegalauan keluarga almarhum Brigadir J terhadap vonis majelis hakim kepada para terdakwa. Sebab nyatanya bahwa antara tuntutan selama proses peradilan berlangsung dengan putusan majelis hakim jaraknya terlalu jauh. Ada yang dituntut 8 tahun, tapi setelah divonis menjadi 20 tahun, ada pula yang dituntut 12 tahun setelah diputus menjadi 1,6 tahun, dan ada yang dituntut hukuman seumur hidup tetapi diputus hakim hukuman mati.

“Ini tentu menjadi perhatian dan catatan kita semua baik untuk kalangan praktisi hukum, institusi kepolisian, para pengamat, akademisi hingga masyarakat luas. Seperti halnya tuntutan pidana seumur hidup, diputus hakim hukuman mati, oleh jaksa masih dilakukan upaya banding. Sementara tuntutan 12 tahun, divonis hanya 1,6 tahun, jaksa tidak banding,” lanjut Prof Gayus.

Prof Gayus teringat dengan sebuah drama karya William Shakespeare yang menampilkan cerita tentang pengkhianatan, pembunuhan, hawa nafsu, dan keakuan seperti Othelo, Macbeth, King Lear, dan Hamlet. Saking geramnya, quote Shakespeare yang paling terkenal dalam buku berjudul King Henry ‘Perang Mawar’ dikatakan, “The first thing we do, let’s kill all the lawyers”. Ini bentuk kekecewaan masyarakat terhadap proses peradilan.

Lebih lanjut mantan Hakim Agung RI tersebut menjelaskan bahwa dalam peristiwa penembakan terhadap korban Brigadir J terdapat unsur pembunuhan berencana. Meski dalam proses eksekusi terhadap korban, terdakwa meminta bantuan orang lain (pelaku lain).

Pembunuhan berencana tersebut dipicu oleh telepon dari Putri Candrawathi yang merupakan istri dari Ferdy Sambo yang mengaku telah mengalami pelecehan seksual. Mendapat telepon demikian, Sambo menjadi emosi. Keinginan untuk mengklarifikasi kepada Brigadir J, malah berujung pada penembakan.


Awalnya, Ricky Rizal yang diminta memback-up Sambo, tapi ditolak dengan alasan tidak cukup kuat mentalnya untuk melakukan. Hingga Eliezer atau Bharada E yang menyatakan siap memback-up Sambo serta menembak Brigadir J hingga lebih dari 3 kali di bagian dada.

Dari situlah kemudian disusun ‘skenario’ aksi koboi, tembak menembak di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang mana hal tersebut sudah diakui oleh semua terdakwa.

Setelah penembakan, jenazah Brigadir J diantar ke rumah keluarganya di Jambi. Di sinilah ‘kotak pandora’ kasus ini mulai terbuka, saat keluarga Brigadir J meminta agar peti dibuka dengan alasan ingin mengulosi sebagaimana lazimnya adat Batak dan ingin melihat Yosua untuk terakhir kalinya.

Menurut Prof Gayus, peristiwa penembakan ini jelas merupakan pembunuhan berencana yakni dengan meminta bantuan pihak lain. Unsur-unsur pembunuhan berencana seperti dalam Pasal 340 KUHP sudah terpenuhi.

Meski dalam proses peradilan muncul beberapa orang yang melakukan social justice warrior, antara lain, Saor Siagian, Johnson Panjaitan, dan Kamaruddin Simanjuntak, juga penetapan Bharada E, salah satu terdakwa yang kemudian dinyatakan sebagai justice collaborator (JC) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), namun Prof Gayus menegaskan bahwa proses yang berjalan, termasuk di pengadilan hingga putusan majelis hakim tentu bukan sebuah drama. “Kita harus menghormati putusan pengadilan,” tegasnya.

Prof Gayus juga menyesalkan munculnya street justice, di mana mereka tidak memahami hukum tapi menyuarakan dengan kata-kata kasar atas dasar suka dan tidak suka terhadap orang yang berbeda pandangan. “Itu semua memang hak masyarakat. Hanya saja, semua pihak harus memahami di posisi mana dia berada,” tukasnya.

Ditambah lagi kemunculan kelompok amicus curiae atau friends of court (sahabat pengadilan), yang didalamnya terhimpun para akademisi. Kelompok ini menyurati ketua majelis hakim dan meminta keringanan hukuman terhadap salah satu terdakwa.

“Baik social justice, lalu street justice, serta amicus curiae merupakan hak dari masyarakat. Namun, sudah seharusnya diimbangi oleh legal justice sebagai pedoman bagi keadilan yang diharapkan,” imbuh Prof Gayus.

Prof Gayus menilai peristiwa persidangan Sambo dkk akan menjadi catatan sejarah untuk kita semua. Kiranya di masa depan, seperti ada teori hukum yang menyebut Das Sollen dan Das Sein. Di mana Das Sollen disebut kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan. Sedang Das Sein dianggap sebagai keadaan yang nyata.

“Kasus ini memberi pelajaran bagi kita semua untuk melihat hukum dalam perspektif yang utuh dengan tidak memisah-misahkan antara kejujuran, kebenaran, dan keadilan, tidak sepenggal-sepenggal,” tutup Prof Gayus.




sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler