Kemendikbudristek Sikapi Kebijakan Masuk Sekolah di NTT Pukul 5 Pagi
FSGI menilai kebijakan itu mengancam tumbuh kembang anak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) turun tangan menyikapi kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemendikbudristek menyatakan, penting bagi suatu pemerintah daerah memperhitungkan berbagai potensi dampak yang dapat terjadi dari setiap proses perumusan kebijakan di bidang pendidikan yang berdampak luas.
"Kemendikbudristek saat ini tengah berkoordinasi intensif dengan pemerintah daerah dan dinas pendidikan di Provinsi NTT terkait penerapan kebijakan yang dimaksud," ujar Plt Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek, Anang Ristanto, kepada Republika, Selasa (28/2/2023).
Anang mengatakan, dalam setiap proses perumusan kebijakan di bidang pendidikan yang berdampak luas, sangat penting bagi pemerintah daerah untuk mempersiapkan secara matang dan memperhitungkan berbagai potensi dampak yang mungkin terjadi. Sehingga, penting juga dalam prosesnya untuk menjaring dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan dan masyarakat, termasuk orang tua.
"Dalam melaksanakan berbagai kebijakan Merdeka Belajar, Kemendikbudristek berkomitmen untuk selalu melindungi hak siswa untuk dapat belajar dengan aman dan menyenangkan di sekolah," jelas Anang.
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, bersama Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi, beserta para kepala SMA/SMK/SLB negeri di Kota Kupang sepakat untuk mengubah jam masuk sekolah dimajukan pada pukul 05.00 WITA. Hal tersebut memicu respons negatif dari berbagai kalangan, termasuk Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang menilai kebijakan itu mengancam tumbuh kembang anak.
"FSGI mengkritik kebijakan masuk sekolah jam 05.00 WITA di NTT dan mendorong pemerintah provinsi NTT mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut karena sangat membahayakan tumbuh kembang anak, sebaiknya dibatalkan karena tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak," kata Sekjen FSGI, Heru Purnomo, Selasa (28/2/2023).
FSGI juga mengumpulkan pendapat sejumlah guru dan orang tua terkait kebijakan masuk sekolah tersebut. Dari sana didapatkan, banyak orang tua yang tidak setuju dengan kebijakan itu. Responsnya beragam, mulai dari faktor keamanan anak saat menuju sekolah, transportasi yang sulit pada pagi hari, dan kesiapan orang tua di rumah seperti menyediakan sarapan, dan berbagai pertimbangan kesehatan anak.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi yang diberlakukan Pemprov NTT ibarat menggaruk bagian yang tidak gatal. Sebab, P2G menilai kebijakan tersebut tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT. "Masalah pendidikan di NTT ini sangat banyak," ujar Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, kepada Republika, Selasa (28/2/2023).
Masalah-masalah itu, di antaranya NTT menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, IPM NTT peringkat ke-32 dari 34 provinsi, masih banyak kelas di sekolah dalam kondisi rusak, lebih dari 50 persen SD, SMP, dan SMK belum dan berakreditasi C. Belum lagi ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP, yakni berkisar antara Rp 200-750 ribu per bulan.
Satriwan menilai, semua kondisi tersebut menunjukkan tidak ada korelasi antara masuk sekolah pukul 5 pagi dengan upaya peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM), menurunkan stunting, memperbaiki bangunan ruang kelas atau sekolah, memperbaiki akreditasi atau kualitas sekolah, dan meningkatkan kesejahteraan guru honorer.