Ulama Jelaskan Sumpah Pakai Alquran Caranya Bukan Diinjak
Sumpah dengan menggunakan Alquran biasanya tetap dengan menghormati Alquran.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis menjelaskan tata cara bersumpah dengan baik. Ia juga mengingatkan umat Islam bahwa bersumpah dengan menggunakan Alquran caranya bukan dengan menginjak Alquran.
Kiai Cholil mengatakan, sebenarnya sumpah itu dengan kata Wau, Ta dan Ba. Yakni Wallahi, Tallahi, dan Billahi, semua itu memiliki arti Demi Allah. Itulah tata cara sumpah yang benar.
"Cuma memang belakangan, sumpah menggunakan Alquran untuk bersumpah atas nama Kitab Suci, padahal sumpah itu dengan nama Allah sebenarnya," kata Kiai Cholil kepada Republika.co.id, Rabu (1/3/2023).
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah di Depok ini menerangkan Allah SWT bersumpah dengan nama Matahari, seperti Wassyamsi (Demi Matahari) dan Wal Fajri (Demi waktu Fajar). Tapi manusia bersumpah dengan nama Allah.
Ia menegaskan, kalau seseorang bersumpah dengan Alquran dan bersumpah dengan nama Allah, sambil memegang Firman Allah SWT (Alquran), itu tidak boleh sambil menginjak Alquran.
"Bahkan kita menjelontorkan kaki menjurus kepada Alquran, itu hukumnya haram, kalau kita membawa Alquran saja tidak boleh ditenteng, Alquran harus dipegang (baik)," ujar Kiai Cholil.
Ia mengatakan, maka sumpah dengan menggunakan Alquran biasanya tetap dengan menghormati Alquran. Biasanya Alquran ditaruh di atas kepala atau pundak. Kalau Alquran diinjak itu bukan menghormati tapi menghina Alquran.
Bolehkah Bersumpah Pakai Mushaf Alquran?
Sementara, Pengasuh Rumah Fiqih Ustadz Ahmad Sarwat dalam diskusi tanya jawab sebagaimana dikutip dari laman Rumah Fiqih menjelaskan, sumpah jabatan dengan menggunakan mushaf Alquran tidak didapati anjuran atau contohnya di zaman Nabi Muhammad SAW.
Kalaupun ada mushaf yang digunakan dalam sebuah peristiwa besar, maka peristiwa itu adalah pada saat terjadi perdamaian antara kedua belah kelompok sahabat yang berperang. Saat itu, mushaf ditancapkan di atas tombak sebagai lambang perdamaian. Dikenal dalam sejarah sebagai peristiwa tahkim.
Lalu entah meniru peristiwa itu atau tidak, sekarang sering menyaksikan adanya sumpah jabatan dengan menggunakan mushaf Alquran. Padahal tidak ditemukan anjuran atau pensyariatannya dari dalil-dalil yang muktamad.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu diangkat menjadi khalifah, tidak mendapati adanya sumpah dengan menggunakan mushaf. Demikian juga ketika dua tahun kemudian Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah, juga tidak ada sumpah dengan mushaf.
Hal yang sama juga terjadi pada Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma. Tidak pernah diriwayatkan bahwa ada mushaf yang diangkat ke atas kepala untuk dilaksanakan sumpah.
"Yang ada pada saat itu adalah bai'at. Para sahabat bersalaman dengan khalifah yang terpilih untuk dibai'at bersama menjadi pimpinan mereka, dan esensi bai'at agaknya tidak sama dengan esensi sumpah jabatan seperti sekarang ini," kata Ustadz Ahmad Sarwat.
Ia menjelaskan, bai'at adalah janji untuk mentaati orang yang dibai'at, bukan mengambil sumpah orang yang dianggap jadi pemimpin. Yang berjanji bukan si pemimpin, tetapi sebaliknya, yang berjanji justru yang merasa dipimpin. Mereka yang berba'iat kepada Nabi Muhammad SAW adalah para shahabat yang berjanji untuk taat kepada perintah Rasulullah SAW, baik dalam keadaan sigap ataupun dalam keadaan malas.
Demikian juga bai'at-bai'at yang diberikan kepada para khulafaurrasyidin setelahnya, semua adalah janji dari para shahabat untuk mendengar dan taat. Bukan sumpah jabatan.
Sumpah jabatan barangkali terjadi dalam pidato sambutan para khalifah setelah dibai'at. Misalnya, pidato Umar bin Al-Khattab sesat setelah menerima janji setia dari para shahabat. Beliau meminta agar para shahabat menegur dan meluruskan dirinya bila melakukan kesalahan.
Namun demikian, ia menerangkan, seandainya tidak ada contoh sumpah jabatan di dalam sirah nabawiyah di masa lalu, bukan berarti hal itu tidak boleh dikerjakan. Di masa sekarang ini, bisa saja dibuat mekanisme khusus untuk memberikan ketaatan kepada pemimpin yang diangkat, namun dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi.
"Kira-kira semacam kontrak politik yang sering kita kenal dewasa ini. Seorang calon pemimpin yang akan diangkat bernegosiasi dengan beberapa pihak untuk mendapatkan dukungan. Dukungan itu tentu saja tidak merupakan cek kosong yang bisa diisi dengan apa saja. Tetapi berisi sejumlah syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh si pemimpin. Bila syarat itu tidak dipenuhi, maka dukungan dan ketaatan akan dicabut," jelas Ustadz Ahmad Sarwat.
Mengenai sumpah jabatan, Ustadz Ahmad Sarwat mengatakan, hukumnya sah secara syariat, serta berguna untuk dijadikan acuan buat para pemimpin untuk berlaku amanah dan istiqaah di dalam menjalankan wewenang dan kekuasaannya.
Seandainya si pemimpin itu dinilai telah menyalahi apa yang telah disepakati, maka ketaatan bisa dicabut, bahkan kepemimpinannya bisa digulingkan. "Dan sejarah menggulingkan penguasa yang lalim dan keluar dari garis yang telah ditetapkan bukan hal yang asing," ujar Ustadz Ahmad Sarwat.