Akademisi: Kekerasan Remaja Akibat Kurangnya Rasa Empati Sejak Dini

Orang tua tidak bisa mengabaikan pendidikan karakter anak.

ANTARA/Basri Marzuki
Sejumlah remaja putri membawa boya sabe atau sarung Donggala saat mementaskan tari pontanu karya Hasan Bahasyuan pada pembukaan Festival Tenun Donggala di Donggala, Sulawesi Tengah. Akademisi: Kekerasan Remaja Akibat Kurangnya Rasa Empati Sejak Dini
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum selesai kasus kekerasan yang menimpa seorang remaja oleh anak pejabat, kini kembali heboh sekelompok anak yang dipaksa meminum miras dan direkam.

Baca Juga


Hal ini pun menggugah praktisi pendidikan untuk turut menanggapi. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Sri Sumarni mengatakan salah satu faktor utama kasus kekerasan remaja yang viral belakangan adalah kurangnya rasa empati yang dipupuk sejak kecil.

"Rasa empati sebenarnya harus dipupuk sejak kandungan melalui kasih sayang kedua orang tuanya," ujar dia kepada Republika.co.id, Kamis (2/3/2023).

Pertama, orang tua dapat memutar musik lembut atau bagi muslim memutar murotal Alquran. Keduanya bisa berpengaruh positif terhadap janin di dalam kandungan dan membuat rasa damai.

Pun ketika memiliki anak, seharusnya anak menghindari pergaulan bebas sehingga hamil di luar nikah tidak terjadi. Karena hal inu juga akan mempengaruhi emosi anak di kemudian hari.

Begitu juga untuk orang tua untuk mengatur jarak kelahiran anak. Sehingga anak secara penuh mendapat kasih sayang tanpa harus merasa berbagi kasih sayang di saat anak pertama masih sangat membutuhkannya.

Kedua, rasa empati anak didapatkan ketika ibu menyusui anak. Kehangatan sang ibu dan degup jantung dapat dirasakan anak saat proses menyusui. 

Ketiga, di masa balita, orang tua hendaknya memberikan pendidikan yang penuh rasa kasih sayang. "Hindari mendidik anak dengan suara keras apalagi hingga membentak anak, begitu pula ketika memiliki anak lebih dari satu orang tua tidak boleh membandingkan kelebihan atau kekurangan anak satu dengan yang lain," ujar Prof Sri.

 

Keempat, orang tua tidak memberikan gawai pada anak usia dini. Karena gawai akan membuat dangkalnya empati anak.

Anak yang hanya fokus terhadap gawai maka di dalam rumah tidak akan terjadi komunikasi yang baik dengan kedua orang tua. Gawai akan membius orang untuk kurang peduli terhadap lingkungan bahkan menyebabkan salah pergaulan. 

Tak hanya pendidikan keluarga, rasa empati akan hilang jika telah memiliki pendidikan keluarga yang baik, namun tidak selektif memilih pergaulan. Mereka yang terjerumus dengan perilaku keras bahkan perundungan akan menghilangkan sisi empati anak.

Perundungan sangat fatal dampaknya terhadap anak-anak di Indonesia. Terutama terhadap masa depan mereka. 

Dia akan depresi ketika mengalami perundungan seumur hidup bahkan hingga meninggal dunia. Masalah anak sekolah yang berhenti saat ini bukan lagi hanya faktor ekonomi, tetapi justru akibat masalah mental anak. 

Mereka mengalami perundungan secara langsung baik fisik maupun verbal di dunia nyata juga di media sosial. Hal ini juga tidak terlepas dari kepedulian orang tua untuk membentuk anak berakhlak karimah.

"Seharusnya orang tua tidak hanya mementingkan pendidikan yang bersifat materialistik kemudian mengabaikan hal-hal yang bernilai karakter," jelas dia.

Orang tua tak hanya berusaha menjadikan anak ilmuwan atau pengusaha. Tetapi memiliki cara agar anak mereka menjadi ilmuwan yang berakhlak karimah dan pengusaha yang berkarakter mulia. Jangan sampai anak-anak menjadi bibit-bibit koruptor di masa depan dan pintar untuk 'memintari' orang. 

 

Adegan kekerasan yang dipertontonkan oleh film dan permainan daring juga dapat memicu kekerasan yang kini marak terjadi di kalangan remaja. Dengan seringnya anak melakukan hal itu tentu rasa empati mereka juga berkurang.

"Apabila anak-anak ini sudah terjebak dengan perilaku kekerasan maka ketika sudah di luar batas kewajaran maka anak tersebut harus ditangani oleh psikiater," ujar dia.

Tetapi jika masih dalam batas kewajaran, orang tua harus sesegera mungkin menolongnya. Orang tua dapat mengajak mereka berbicara dengan makan bersama atau sekadar berbelanja.

Sehingga rumah dapat tercipta suasana harmonis dan anak menjadi lebih terbuka untuk berbicara dengan orang tua. Orang tua juga harus tahu teman-teman pergaulan anak.

Sebisa mungkin orang tua mengajak anak untuk bermain bersama teman-temannya di rumah. Sehingga orang tua bisa memantau pergaulan anak dan dengan siapa saja mereka berteman.

Selain itu, orang tua juga bisa mengundang ustaz atau psikolog untuk berbincang dengan anak tanpa terkesan menggurui. Karena karakter anak remaja tidak suka jika ada orang yang menggurui.

Saat ini keluarga rentan karena orang tua minim pendidikan parenting. Terutama mereka yang memiliki pendidikan rendah dan sibuk dengan mencari nafkah. Pemerintah bisa memberikan kebijakan dengan mengajarkan ilmu parenting di setiap desa melalui universitas terdekat.

"Kami sebagai guru besar tidak masalah jika ditugaskan untuk mengajar orang tua di desa-desa setiap pekan untuk membuka wawasan mereka mengenai pendidikan orang tua, karena saat ini belum ada pihak yang bertanggung jawab untuk mendidik orang tua agar memiliki pemahaman yang baik mendidik anak" ujar dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler